Sabtu, 09 Januari 2010

Kajian Geografi

MUSIBAH ATAU KE-TIDAK-WARASAN

Oleh: Imam Semar


DEFINISI KE-TIDAK-WARASAN (INSANITY)

Apa itu ke-tidak-warasan? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ambilkan pendapat dari seorang yang sudah dikenal genius, yaitu Albert Einstein. Mungkin dia benar-benar genius atau dipersepsikan genius, kami tidak tahu.

Kalau anda seorang psikiater dan tidak setuju dengan pendapat Einstein, silahkan berdebat dengan dia. Saya tidak mau berdebat dengan anda. Karena, saya akan menyuruh anda berpikir dan merenungkan pendapat Einstein ini. Kalau anda masih berbeda pendapat lagi, saya akan mengacuhkan anda karena, ada dua kemungkinan bahwa anda tolol (dan unversitas yang memberi gelar anda juga institusi tolol) atau anda juga gila.

Ini kata Einstein: “Ketidak-warasan adalah: melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda”.

Dalam bahasa Inggris bunyinya:
“Insanity:doing the same thing over and over and expecting different results.”

Akhir-akhir ini Indonesia ditimpa ‘musibah’. Saya gunakan tanda petik, karena hal inilah yang mau kita bahas dan akhirnya mau menjatuhkan vonis bahwa manusia Indonesia, kebanyakan, sudah tidak waras. Mereka perlu makan serenase, atau haldol untuk meluruskan cara berpikirnya.


MANUSIA PURBA DAN MANUSIA MODERN PECUNDANG

Nenek moyang kita, hidup berpindah-pindah. Awalnya mereka menempati suatu daerah dan hidup disana. Membangun tempat tinggal dan menetap disana. Tetapi mereka tidak selamanya tinggal disitu. Pada saat daya dukung daerah itu sudah sudah berkurang dan hilang, maka mereka pindah. Keputusan yang waras. Kenapa harus tinggal di tempat yang tidak nyaman dan tidak menjanjikan?

Perpindahan/migrasi ini tidak hanya terjadi pada generasi pemburu-dan-pengumpul makanan (hunters dan gatherers), tetapi juga generasi yang lebih maju, petani dan pedagang. Kita lihat betapa banyaknya kota-kota yang hilang, yang ditinggalkan penduduknya, seperti Angkor Wat, Machu Picchu, Chichen Itza, Luxor, Akhetaten, Memphis, Leptis Magna, Carthage Angkor Wat, Ayutthaya. Kita pernah bahas hal ini di DUBAI CALON KOTA HANTU?. Penduduk kota-kota ini bukanlah pemburu dan pengumpul-makanan. Pertanian dan kemampuan rekayasa (engineering) mereka sudah tinggi dan dibuktikan oleh bangunan-bangunan yang mereka tinggalkan.

Bagaimana dengan manusia Jakarta – Jabotabek? Jabotabek saya jadikan kasus, tetapi hal ini berlaku juga untuk daerah-daerah lainnya.

Saya punya teman yng tinggal di Kampung Melayu yang setiap 4 tahun sekali harus ganti tv dan peralatan elektroniknya. Itu 20 tahun lalu. Mungkin sekarang dia harus lebih sering menggantinya. Pasalnya dulu setiap 4 tahun sekali rumahnya kena banjir. Saya pernah menganjurkan dia untuk memiliki perahu, sehingga kalau banjir, barang-barang elektroniknya bisa diselamatkan. Bahkan saya disainkan sebuah tempat tidur yang bisa diubah menjadi perahu ketika banjir. Dia tidak pernah menggubris anjuran saya. Dia berharap apa yang dilakukannya selama ini (itu-itu saja dan tidak berubah), akan menghasilkan perbedaan. Akan menyelesaikan masalahnya. Itu terjadi dari 20 tahun lalu sampai sekarang.

Berdasarkan kriteria Einstein dia, dan juga orang-orang di sekitar tempat tinggalnya, sudah tidak waras. Kalau mereka waras maka mereka sudah berbuat sesuatu yang lain, seandainya tidak mau pindah seperti yang dilakukan moyangnya dulu.


ORANG TIDAK WARAS, TIDAK BISA BELAJAR

Kampung Melayu adalah wakil dari beberapa tempat yang secara rutin terkena banjir. Masih banyak lagi tempat-tempat di Jakarta yang sering terkena banjir. Jalan-jalan di Pluit, Sunter, Kelapa Gading – tempat tinggalnya orang kaya, selalu kena banjir kalau musim hujan. Aspalnya rusak, jalan berlubang yang membuat mobil cepat rusak. Untuk daerah Pluit lebih parah lagi karena airnya agak payau dan cukup korosif (cenderung membuat karat).

Apa yang orang-orang ini lakukan? Memilih gubernur Jakarta untuk menyelesaikan masalahnya. Yang dimaksud adalah masa setelah orde reformasi, sebelum itu mereka memilih presiden untuk memilih gubernur yang akan menyelesaikan masalah itu. (Komentar: Mungkin mereka pikir lebih baik memilih orang yang langsung menangani banjir dari pada presiden yang tidak mau turun tangan langsung).
Awalnya Sutiyoso. Katanya dia akan mengatasi banjir Jakarta. Setelah 5 tahun lewat, dia (Sutiyoso) berjanji lagi kalau dia terpilih lagi maka banjir Jakarta akan ditanggulangi. Tetapi janji tinggal janji, mejelang pemilihan gubernur berikutnya (diakhir masa jabatannya yang ke II), Sutiyoso mengatakan bahwa banjir Jakarta sulit ditanggulangi. Hal ini dikatakannya karena dia sudah tidak boleh lagi mencalonkan diri lagi. Dia sudah tidak punya insentif dan keuntungan lagi untuk membuat janji-janji.

Kemudian setelah Sutiyoso, siapa yang mereka pilih? (Paling tidak 36% dari pemilih) Fauzi Bowo yang sudah lamaaaaaaaa sekali kerja di DKI – kantor pemerintahan Jakarta. Mengherankan, kenapa yang terpilih adalah orang yang sudah terbukti tidak mampu mengatasi banjir di Jakarta selama belasan tahun (mungkin juga puluhan tahun) untuk mengatasi banjir Jakarta? Bukankah Fauzi Bowo yang dulunya kerja di pemerintahan DKI yang sudah menangai masalah banjir Jakarta?Memang benar, secara de facto, kursi kosong mengungguli Fauzi Bowo dan pembaca situs ekonomi orang waras (EOWI) lebih suka bahwa Jakarta tidak ada gubernur.

Orang Tangerang dan Banten mungkin berpikir sama. Dulunya mereka pikir gubernur Jawa Barat jauh di Bandung. Maka mereka minta pemekaran daerah. Dan diadakanlah gubernur Banten. Apa yang terjadi, ‘musibah’ Situ Gintung dan parahnya lagi, sang tante gubernur merasa hal ini bukan menjadi wewenangnya... Hallloooo......, tante gubernur..., bangun. Tugas anda adalah memperhatikan ‘welfare’, kesejahteraan rakyat Benten termasuk Tangerang. Tugas anda termasuk berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU) untuk membuat orang-orang di daerah Banten selamat. Jangan katakan bahwa urusan bendungan dan situ adalah urusan PU. Itu namanya dalih. Bisakah anda membedakan antara alasan dan dalih?

Lain lagi dengan Timor Timur. Mereka pikir jika sudah merdeka dari Indonesia maka mereka lebih makmur. Haalllloooo, itu ladang minyak Bayu-Udan sudah berproduksi, kenapa anda – Timor Timur masih belum makmur?

Kasus lain lagi, yaitu Aceh dan GAM nya. Mereka pikir kalau sudah ada otonomi daerah dan GAM berkuasa, maka Aceh akan makmur. Haallloooo, apa anda sudah makmur?


KALI CODE YOGYA DAN KAMPUNG MELAYU JAKARTA

Pertengahan tahun 80an Kali Code Yogya, katanya daerah yang kumuh dan mau digusur. Kemudian datanglah romo Magun (yang sekarang sudah meninggal). Dia bersama-sama dengan rakyat setempat menata dan membangun rumah di daerah Kali Code sehingga baik dan asri.

Kali Code Yogya dan Kampung Melayu (atau Pluit atau Kelapa Gading) Jakarta mengambil jalur yang berbeda. Masyarakat Kali Code tidak minta gubernurnya untuk memperbaiki lingkungannya. Mereka kerja (gotong royong) membangun lingkungannya, sehingga asri. Sebenarnya mereka juga tidak perlu romo Mangun. Apalah artinya sumbangan 1 orang dibandingkan tenaga 1000 orang? Para LSM sajalah yang membesarkan peran romo Mangun dalam pembangunan lingkungan Kali Code sehingga dia yang memperoleh nama besar.

Demikian kalau nanti pemukiman Kali Code terkena banjir bandang, jangan salahkan romo Mangun. Paling enak memang menyalahkan romo Mangun. Sebab sebenarnya yang salah adalah penduduk di Kali Code itu sendiri. Kenapa membangun rumah yang menjorok ke daerah aliran sungai? Masalah itu disimpan dulu sampai nanti, kalau hal ini sudah terjadi.

Kembali pada masalah Jakarta dan Kampung Melayu. Ada dua alternatif untuk mengatasi masalah banjirnya bagi penduduk di Kampung Melayu. Dan memilih gubernur tidak termasuk di antaranya. Kedua pilihan itu adalah, pergi dari daerah itu (Kampung Melayu) sehingga mereka tidak kena banjir atau bergotong royong membuat pemukiman yang baik di Kampung Melayu.

Untuk daerah Pluit, Kelapa Gading dan tempat-tempat orang kaya di Jakarta, anda punya uang untuk menyewa kontraktor untuk memperbaiki lingkungan anda. Persoalan banjir di Belanda jauh lebih berat dibandingkan Jakarta. Kalau perlu datangkan kontraktor dari Belanda.

Uangnya dari mana? Pajak anda. Jumlah pajak yang dibayarkan penduduk Pluit untuk 2-4 tahun mungkin cukup untuk membuat hidup anda lebih nyaman. Kalian bisa bilang ke pemerintah, apakah pemerintah yang mau jadi kontraktornya dan membangun sistem mengendali banjir yang benar, seperti pemerintahan penjajah Belanda dulu, atau didatangkan kontraktor langsung dari Belanda.

Pembaca EOWI yang waras, penjajah Belanda dulu sudah membangun kanal-kanal dan sistem pengendali banjir. Perkara sukses atau tidak, kita harus lihat kembali sejarah. Tetapi kalau kita lihat negara Belanda yang saat punya ancaman banjir yang lebih besar dari banjir Ciliwung dan berhasil mengendalikannya, maka dapat diasumsikan bahwa dulupun mereka berhasil melakukannya di Hindia Belanda. Masalahnya sekarang pemerintahan Republik ini tidak becus memelihara dan mempertahankan apa yang ada. Tidak usah dibilang membangun yang baru.


KEPALA NEGARA KANADA YANG WARGA NEGARA INGGRIS
Orang selalu berpikir bahwa putra daerah, bumi putra lebih baik dalam memperhatikan daerahnya dari pada orang luar. Apakah demikian?

Nenek saya bilang, zaman Belanda dulu adalah ‘jaman normal’, dan jaman ‘republik’ jaman tidak normal. Artinya jaman Belanda lebih makmur dari jaman ‘republik’. Artinya Belanda lebih becus mengurus dari pada politikus republik.

Orang Timor-Timur mungkin juga bilang bahwa jaman penjajahan Indonesia lebih makmur dari pada jaman kemerdekaan. Ini masih ‘mungkin’, karena saya tidak pernah menanyakan langsung kepada orang Timor-Timur. Itu hanya dugaan saya saja.

Perkara putra daerah, pribumi, bumiputra, saya jadi ingat kepala negara Kanada. Tahukah anda siapa kepala negara Kanada? Saat ini adalah ratu Elizabeth II dari Inggris. Catatan: Ratu Elizabeth II bukan warga negara Kanada.

Dari situ mungkin kita bisa belajar, bahwa bisa saja Jakarta, Banten tidak perlu ada gubernur, atau gubernurnya orang Inggris atau orang Kanada. Juga presidennya. Yang penting becus. Mungkin itulah solusi dari kisruh di negara ini. Selama kita masih memilih orang yang tidak kompeten, karena pilihannya hanyalah sederet manusia yang tidak kompeten, jangan sebut anda orang waras. Hanya orang gila saja, yang dari tahun-ke-tahun memilih orang yang tidak kompeten dari stok yang tidak kompeten untuk mengurus kesejahteraannya, tetapi mengharap hasil yang berbeda. Maksudnya adalah tercapainya kemakmuran.

Kesengsaraan dan ‘musibah’ yang dihadapi bangsa ini, sesungguhnya bukan ‘musibah’ tetapi ke-tidak-warasan diri sendiri.

Jakarta 9 April 2009.

Minggu, November 30, 2008

MENGENALKAN ANARKISME GEOGRAFI (1)

"Third world governments are probably the greatest enemy of third world peoples"
---Michael A. Clem---

Tulisan ini bermaksud mengurai kekusutan pemahaman geografi yang sering dilupakan dalam pengajaran di kelas. Kecenderungan modis kajian geopolitik telah menutup dalam-dalam makna geografi sesungguhnya, terkhusus bagi perkembangan geografi sosial ataupun geografi fisik. Siswa telah terbiasa memandang bahwa obyek studi kajian geografi dalam usaha mempelajari realitas keruangan sering dikotak-kotakan oleh dominasi batasan administrasi dalam kerangka kepentingan negara. Hal ini dapat dipahami, ialah sebagai pengaruh doktrinasi negara dalam segala aspek kehidupan pendidikan dan juga perkembangan serta kepentingan studi politik dalam ranah ilmu sosial.

Selama penulis mempelajari bidang geografi dalam pengajaran, belum pernah penulis menemukan bahwa siswa memandang pembelajaran geografi sebagai suatu studi dalam kerangka cara pandang formal sebagai alat melihat realitas keruangan. Mayoritas siswa melihat geografi sebagai ilmu tentang menghafal nama-nama negara. Padahal, dalam ranah falsafah geografi, batasan administrasi negara adalah salah satu produk dari cara pandang formal dalam studi kewilayahan. Sedangkan, dalam ranah perspektif studi keruangan secara murni apriori, hingga kajian geografi yang mempelajari studi relasi manusia dengan alamnya, sangat sulit sekali dicerna oleh siswa.

Dalam analisa selanjutnya, hal ini dapat ditelusuri sebagai akibat pengaruh produk peta-peta yang dihasilkan ahli kartografi, peta yang notabene merupakan sarana komunikasi geografis, masih dominasi oleh peta-peta berdasarkan perspektif politis. Padahal dalam sejarahnya, yaitu dalam perspektif kewilayahan dalam bidang geografi, kategori yang demikian selalu berubah-ubah berdasarkan paradigma filsafat pada setiap zamannya.


Perubahan Sejarah dalam memahami realitas ruang

Tidak ada kepastian sejarah tentang kapan dan seperti apa peta muka bumi muncul pertama kali. Yang dapat dipastikan ialah adanya perubahan cara pandang ilmuwan di masa lampau dalam memahami ‘realitas keruangan’. Semisal peta yang dihasilkan pada 540 SM yang masih menganggap bahwa dunia terdiri dari tiga daratan yang dikelilingi oleh samudra. Pandangan tersebut jelas dipengaruhi oleh filsuf Thales yang sering disebut sebagai generasi awal filosof Yunani, yang menganggap bahwa dunia ini tersusun dari satu unsur, yaitu air.

Sedangkan pada masyarakat Inca dan Maya di dataran Amerika, menganggap bumi atau tanah sebagai asal mula segalanya Sehingga hal tersebut dapat juga dipahami jika mereka membangun tangga-tangga kuil untuk ’meraih bintang’. Simbol tersebut tidak lain merupakan cara mereka dalam memahami realitas yang mereka hadapi..

Dalam kajian geografi regional kontemporer, pengaruh dominan yang melekat ialah kategori politis. Pembagian wilayah pada masa perang dingin misalnya, wilayah politis sering didasarkan pada pembagian dunia pertama, kedua, ketiga. Sekali lagi, hal tersebut dapat dipahami sebagai cerminan pemahaman filosofis masyarakat pada masa perang dingin. Dan sekarang, Peta Rupabumi sering diidentikkan dengan berbagai wilayah-wilayah kecil yang terpecah-pecah di atas benua-benua, yang sering disebut sebagai negara.

Setelah berakhirnya era perang dingin atau tepatnya ambruknya sosialisme Uni Soviet, mitos-mitos yang lain pun bermunculan. Paling tidak, akibat pengaruh revolusi kuantitatif, muncul istilah negara berkembang dan negara maju. Merevisi pemahaman sebelumnya tentang ”perkembangan” peradaban sebuah wilayah. Para perencana global, yang sering didukung ilmuwan sosial, membagi dunia ke dalam tahap-tahap perkembangan. Sehingga muncul istilah utara-selatan. Utara ialah negara-negara maju, sedangkan selatan ialah negara-negara berkembang---sebagai penghalusan istilah untuk menyebut wilayah terbelakang.

Apabila dianalisis lebih lanjut dari faktor sejarahnya, maka tidak dapat disangkal bahwa distribusi pewilayahan saat ini merupakan hasil dari masa kolonialisme pada abad 15 hingga 20. Yang berawal dari kesepakatan bangsa-bangsa eropa dalam membagi wilayah-wilayah berdasarkan batas-batas koloni mereka. Hingga muncul ’pemberontakan’ dan membentuk bentuk-bentuk negara-negara bangsa yang sekarang di lukiskan dalam peta-peta.

Apabila diuraikan secara runtut, maka potret perkembangan pemahaman manusia akan ruang muka bumi tidak dapat dirangkum dalam satu pandangan ringkas ini. Terlepas dari berbagai fakta sejarah tersebut, di sini penulis tertarik mengimajinasikan suatu pemahaman keruangan agar dapat membebaskan siswa dari jerat maut doktrinasi batas-batas negara. Implikasi dari rekomendasi ini diharapkan dapat memberikan peluang terhadap sebuah strategi pengajaran geografi yang dapat memberi inspirasi dan menggugah inquiry of mind siswa terhadap realitas keruangan.

Untuk itu, di sini penulis memperkenalkan istilah baru. Suatu terminologi yang belum banyak dikenal dalam wacana publik. Secara ringkas pandangan dalam tulisan kali penulis namakan anarkisme geografi. Anarkisme adalah salah satu pandangan filsafat yang menolak segala bentuk campur tangan atau intervensi kekuasaan. Dalam ranah filsafat, doktrin ini merupakan salah satu doktrin falsafah politik yang memiliki berbagai variasi aliran. Sedangkan geografi sendiri merupakan suatu bidang ilmu yang mempelajari realitas ruang, khususnya muka bumi (Kant)...

Bersambung...


*Oleh Giyanto: Fellow Writer Jurnal akaldankehendak.com, bagi anda peminat ilmu geografi dan apabila ingin mediskusikan, menyanggah ataupun mengoreksi tulisan ini bisa berkirim email ke: giyanto17@yahoo.com. Salam Geograf...

Sabtu, Maret 29, 2008

Resensi Buku:

Dasar-Dasar Kajian Geografi Regional

”...Kebijakan ”pembangunan” dan perencanaan seringkali membuat keadaan lebih buruk dalam proses keterbelakangan, yaitu hanya dengan menangani simtom-simtomnya daripada sebab-sebab kemiskinan. Namun kemajuan terus saja diukur dengan model-model barat.”

Suharyono


Kutipan diatas sengaja dipilih bagi penekanan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Keresahan yang muncul dari seorang, yang barangkali teman-teman tidak terlalu mengenalnya, Prof. Dr. Suharyono yang saya kutip diatas menandakan seorang pemikir yang peka serta kritis. Diantara buku terbitan UNNES Press, yang seringkali dijadikan buku ”wajib”, namun untuk buku yang satu ini saya membelinya dengan suka rela. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, saya secara pribadi memang pengagum beliau. Setelah mengikuti beberapa kuliah yang beliau ampu di semester-semester awal, saya belum pernah menemui seseorang dengan pemahaman pengetahuan negara-negara dan sejarah internasional yang seluas dan sekritis beliau. Kedua, beliau ialah salah satu guru besar yang paling produktif, selain Prof Abu Suud dan Prof. Retmono. Namun demikian, tulisan beliau sedikit sekali muncul di media massa.

Dari cara beliau menulis, mengesankan suatu keresahan yang mendalam akan sebuah tatanan dunia yang tidak seimbang. Hal ini terlihat dari kalimat-kalimat yang ditulis dalam buku tersebut mengalir dengan lancar, seolah pengetahuan geografi regional sudah berada ”diluar kepala”. Pengutipan-pengutipan secara langsung hanya ditemui di awal-awal bab, karena terkait dengan pengertian dan definisi. Setelah itu, bab-bab terakhir, menjelaskan secara analitis proses sejarah kolonialisme di seluruh dunia yang selanjutnya penjelasan negara-negara dalam perspektif regional.

Contoh kekritisan yang bisa ditemui ialah sanggahannya terhadap asumsi-asumsi pengukuran kriteria kemajuan pembangunan yang digunakan oleh Dickenson. Seorang ahli geografi negara berkembang yang notebene bukunya telah diterjemahkan Prof. Dr. Suharyono sendiri pada tahun 1992. Walaupun karangan Dickenson yang berjudul Geografi Negara Berkembang tersebut diterjemahkan beliau, tidak serta merta menerima setiap gagasan Dickenson ’dengan mentah-mentah’.

Asumsi Dickenson, serta yang sering dipakai hampir semua buku teks, yang mengatakan bahwa penyebab keterbelakangan negara-negara berkembang ialah:
  1. Kawasan negara berkembang terletak di wilayah tropik.
  2. Dunia ketiga kekurangan sumber alami esensial yang diperlukan untuk menunjang perkembangan industri.
  3. Citra penduduk negara berkembang yang ”penuh sesak” yang disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi.
  4. Asumsi rasial dari bangsa Eropa bahwa negara berkembang terbelakang terkait dengan warna kulit berwarna yang identik dengan sifat ”inferior” dan ”pemalas”.
  5. Dan yang terakhir terkait dengan proses kolonialisme yang dialami negara-negara berkembang.
Dari kelima asumsi yang dipakai Dickenson, hanya yang terakhirlah yang diterima oleh Prof. Dr. Suharyono. Yang lain disanggah dengan fakta-fakta sebagai berikut:
  1. Bahwa sejarah pertumbuhan peradaban manusia justru lebih banyak yang mulai dari wilayah panas/hangat di sekitar atau di wilayah iklim tropik seperti peradaban bangsa/orang-orang Nubia Kuno di lembah S. Nill, Babilonia di lembah S. Eufrat dan Tigris, serta peradaban tua di lembah S. Indus di India.
  2. Kenyataan kedua bahwa sumber energi dan bahan mentah untuk industri sekarang ini banyak yang berasal dari daerah-daerah bekas jajahan di sekitar wilayah tropik.
  3. Asumsi ketiga dibantah dengan fakta bahwa Afrika dengan penduduk sangat sedikit malah menjadi negara terbelakang. Begitu juga Kanada serta Australia yang juga berpenduduk sedikit tergolong negara maju. Sedangkan Belanda dan Belgia termasuk negara maju walaupun memiliki kerapatan penduduk yang tinggi. Jadi disini asumsi yang mengkaitkan keterbelakang dengan jumlah penduduk tidak dapat diterima.
  4. Sedangkan asumsi rasial yang berdasar warna kulit terbantah dengan kemajuan yang dialami bangsa Jepang.
Terlepas dari kualitas buku yang sangat mengagumkan tersebut. Kita dapat menangkap suatu keresahan dan kesimpulan skeptis dari kalimat yang saya kutip di atas. Menandakan suatu kegagalan ilmu ”ekonomi arus utama” yang sekarang sedang dipakai secara umum. Yang berorientasi pada perencanaan serta pengukuran matematis. Yang dalam istilah di atas memakai kata: ”model barat”.

Begitu banyak buku-buku ekonomi yang beredar sekarang ini sebenarnya bersumber dari asumsi-asumsi yang tidak saja keliru, namun justru menyesatkan. Asumsi yang mengatakan bahwa kegiatan ekonomi---kegiatan antara produsen, distributor serta konsumen---dapat direncanakan oleh agen diluar pelaku ekonomi seperti pemerintah serta lembaga-lembaga moneter internasional jelas merupakan kesalahan logika sederhana yang berdampak terhadap kehidupan manusia yang sangat serius. Yaitu pemiskinan itu sendiri.

Sebagai seorang intelektual, ialah suatu tanggungjawab kita untuk mengembalikan serta mengingatkan setiap penyimpangan gagasan yang terjadi. Baik hal itu disengaja maupun tidak disengaja. Apalagi gagasan tersebut telah merugikan banyak orang.

Buku Dasar-Dasar Kajian Geografi Regional penting bagi mahasiswa, Geograf, ahli Ilmu Sosial, serta peminat kajian politik internasional dan juga masyarakat umum.

Spesifikasi Buku:
Judul : Dasar-Dasar Kajian Geografi Regional
Penulis : Prof. Dr. Suharyono
Ketebalan : vii+247 hal
Penerbit : UNNES PRESS
ISBN : 9799579937
Distributor : Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang

Biodata Penulis Resensi:
Giyanto, sekarang mendalami praksiologi (ilmu mengenai tindakan manusia), artikel-artikelnya telah beredar di Jurnal online:
http://akaldankehendak.com serta beberapa opini di:
http://komunitasembunpagi.blogspot.com: diantaranya:
1. Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial
2. Pertanian dan Paradoks Beras Miskin dalam Perspektif Praksiologi
3. Kritik Logika Aristotelian
dsb

Selasa, Februari 05, 2008

DETERMIN(-ISME) (3): LINGKUNGAN


Terima kasih atas tanggapan Edi atas posting kedua saya kemarin. Setidaknya itu membuat saya lega bahwa anda berdua memang sedang belajar. Kalaupun seandainya tulisan-tulisan kang Edi yang kemarin terkesan agak melo maka saya akan mencoba memahaminya.

Gini kang, Jakarta memang sebuah kota, bahkan bisa dikatakan Megaurban, bagi beberapa ahli Geografi Perkotaan. Banyak sekali menjalani kehidupan kota dari berbagai motif. Termasuk motif intelektual barangkali.he2.

Tapi akhir-akhir ini saya memang agak tersenyum bila melihat berita tentang Jakarta. Terkhusus membayangkan pada saat penduduk Jakarta hilir mudik demi kepentingannya sendiri, mendadak harus berhenti dikarenakan oleh banjir.

Asal Mula

Sekitar tiga tahun yang lalu saya membaca beberapa wacana dari ahli geografi untuk mengusulkan agar Ibu Kota itu dipindah. Pada saat itu saya masih menganggap usul tersebut “gila” serta mengada-ada. Saya menganggap bahwa ahli geografi memang sedang tidak ada kerjaan hingga harus menulis wacana tentang perpindahan ibu kota.

Akan tetapi, apabila melihat rutinitas banjir yang terjadi, saya kira wacana tersebut mungkin tidak kurang dari sepuluh tahun dari sekarang, barangkali pasti akan dipertimbangkan.

Bukannya sok tahu. Tetapi bila dikaitkan dengan kemampuan manusia untuk berfikir, maka bukan tidak mungkin manusia-manusia Jakarta tahan terhadap “kerugian” yang akan mereka alami terus menerus tiap tahun. Singkatnya, kehendak manusia untuk hidup dan bertahan hidup, lama-kelaman memang harus mengalah dengan lingkungan alam.

Determinisme Lingkungan

Determinisme Lingkungan (dalam konteks istilah yang sesungguhnya, bukan dalam konteks psikologis manusia) menganggap bahwa manusia memang harus tunduk pada proses lingkungan alamiahnya. Anggapan ini sebenarnya muncul pada saat manusia masih dikategorikan primitive. Hingga mereka menggunakan sesajen dan pengorbanan untuk dewa-dewa yang “menghuni” ataupun “menguasai” alam. Pada masa pemahaman saat itu, manusia bisa dikatakan tidak mempunya kehendak bebas untuk menguasai alam.

Paham determinisme lingkungan alam lambat laun dianggap kuno sebagai akibat munculnya masyarakat pertanian serta masyarakat industri kapitalis. Tapi saya seolah melihat siklus ini kembali berulang. Barangkali dengan kecepatan yang lebih dasyat dari yang saya perkirakan.

Sebagai contoh, aktivis-aktivis lingkungna Greenpeace yang pada awalnya dianggap sekumpulan orang-orang yang memiliki pemikiran serta aktivitas “gila”, kadang-kadang mereka harus telanjang untuk berdemo, saat ini menjadi organisasi yang sangat mempengaruhi wacana kebijakan global tentang pentingnya perhatian terhadap lingkungan.

Pendek kata saya memperkirakan, bahwa wacana-wacana mengenai wacana terhadap lingkungan alam akan kembali populer.

Kembali ke Pokok Persoalan : Eksisensi Manusia

Saya memang kurang memahami tentang konsep-konsep Bourdieu, dan aliran-aliran falsafah lainnya. Termasuk Cak Nun dan lain sebagainya. Akan tetapi setidaknya saya mencoba dengan keras, memahami symbol-simbol sesedikit mungkin untuk menanyakan, merenungkan dan mencoba menguraikan dengan bahasa saya sendiri untuk menjadi wacana diskusi. Terima kasih atas sarannya.

Dan disini saya memang terasa membabi buta, menggunakan konsep-konsep, bahasa-bahasa, teori-teori yang kurang pas. Tetapi ini saya anggap sebagai proses. Apabila ada sahabat yang selalu mengingatkan, saya mengucapkan banyak terima kasih.

Masalah eksistensi manusia, saya merasa bahwa Tuhan menurunkan manusia ke bumi bukan tanpa alasan. Saya tidak memahami dan tidak tertarik untuk memahami rumus-rumus sang Khalik mengenai manusia seperti apa sebaiknya. Saya hanya mencari ke Jalan-Nya melakasanakan tugas berdasarkan interpretasi yang dapat saya pahami sendiri. Barangkali Agak sedikit liberal.ha2.

Memutar lagi membahas determinisme lingkungan, barangkali bisa dilemparkan ke teman-teman diskusi di Drikarya, setidaknya menanyakan kepada mereka untuk mencari tempat diskusi yang baru, kalo-kalo mendadak Presiden mengeluarkan surat perintah agar Ibu Kota dipindah,ha2.

Sekian, Bravo embun pagi!!! pagi-pagi banget saya harus posting ha2.

Giyanto: Mahasiswa Gegrafi UNNES yang terpaksa harus Skrips

Tidak ada komentar:

Posting Komentar