Jumat, 19 November 2010

Hisab dan Rukyat Menurut Astronomi (Iptek)

Hisab dan Rukyat Menurut Astronomi (Iptek)

Setiap menjelang awal Ramadhan, perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa seakan menjadi pertanyaan yang tidak kunjung usai. "Persaingan" antara hisab versus rukyat dalam menentukan awal bulan Hijriah bagaikan menu rutin yang banyak dibicarakan orang. Disadari atau tidak, permasalahan tersebut merupakan bagian dari kehidupan bangsa ini. Oleh karena itu, memahami akar permasalahan yang ada dapat membantu dalam menentukan sikap.

Hisab yang berarti menghitung dan rukyat yang berarti melihat, dalam arti sempit, merupakan sebuah cara yang digunakan untuk menentukan masuknya awal bulan Hijriah, seperti Ramadhan dan Syawal.
Dalam pandangan masyarakat luas, keduanya merupakan dua metode yang saling bertolak belakang. Padahal, dari sudut pandang astronomi, hisab dan rukyat bagaikan dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Pandangan masyarakat luas tersebut mungkin dikarenakan kedua konsep tersebut digunakan oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dalam pemahaman umum, diakui atau tidak, pendapat/ajaran yang berasal dari kedua ormas tersebut sering kali "bertentangan".





Sebuah metode

Hisab dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun empirik. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas data yang ada.
Hisab bukanlah sebuah metode yang muncul secara tiba-tiba. Sebab, adanya hisab diawali dari rukyat yang panjang. Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus diuji secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang dihisab. Sebagus dan sebaik apa pun sebuah metode hisab, jika tidak sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar.

Demikian juga halnya dengan rukyat. Pelaksanaan rukyat yang tidak pernah menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia-sia. Karena, apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada apa yang pernah dilakukan.
Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat merupakan kombinasi harmonis agar ilmu falak di Indonesia dapat berkembang. Sesuai dengan asalnya, ilmu falak yang tidak lain merupakan bagian dari astronomi modern saat ini merupakan observational sains.




Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan proses pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan dapat mengakibatkan ilmu falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan sulit untuk dipahami.
Kecenderungan itu dapat dilihat dari pandangan kaum santri di pesantren, yang umumnya dari kalangan NU, bahwa ilmu falak merupakan ilmu yang sulit dan tidak menarik. Hal ini bisa diakibatkan karena rukyat jarang bahkan tidak pernah dipraktikkan kecuali ketika menjelang awal dan akhir Ramadhan.

Iptek sesuai dengan watak dan pengalamannya selalu menilai dan mengukur segala sesuatu dari sisi akurasi dan kedekatannya dengan kenyataan. Oleh karena itu, wajar kalau iptek memandang rukyah sebagai sesuatu yang memiliki banyak kelemahan. Atas dasar penilaian tersebut, maka iptek berkeinginan untuk mengambil peran dalam hal penentuan awal Ramadhan sebagaimana yang telah dilakukannya selama ini dalam berbagai aspek kegiatan. Beberapa alternatif solusi iptek telah ditawarkan. Tawaran penggunaan ilmu hisab (perhitungan) dengan metodologi astronomi modern kini sudah diterapkan. Hampir semua ormas Islam memiliki ahli hisab yang menguasai perhitungan astronomi, tanpa meninggalkan kekayaan intelektual para ulama terdahulu yang mengembangkan metode sederhana ilmu hisab. Generasi mudanya kini banyak yang menguasai pemograman komputer sehingga sanggup mengembangkan sendiri program-program komputer, termasuk untuk metode klasik yang biasanya dilakukan secara manual. Namun ilmu hisab saja masih tetap belum menyelesaikan masalah.

Hitungan hisab itu kini bisa diotomatisasi dengan pemrograman dalam komputer. Dengan demikian berbagai kesalahan manusia bisa dieliminasi. Salah satu contoh program komputer yang khusus dikembangkan untuk hisab kalender Hijri adalah software (Mawaaqit) yang semula dikembangkan oleh Club astronomi Al-Farghani bersama ICMI Orsat Belanda dan kemudian dilanjutkan di Bakosurtanal. Hisab dipakai untuk memprediksi posisi, arah dan waktu untuk rukyatul hilal. Rukyah tetap dilakukan karena tetap akan ada faktor cuaca yang tak mungkin bisa di hisab. Sedang teknologi observasi dikembangkan untuk membantu rukyah agar terhindar dari salah atau untuk mengenali bulan sabit meskipun cahayanya masih lemah. Misalnya telah dikembangkan “teleskop rukyah”, yakni sensor (kamera) digital baik aktif maupun pasif yang citranya kemudian diperkuat dan bahkan juga telah dipikirkan untuk menggunakan platform pesawat terbang sehingga rukyah bisa dilakukan di atas awan.

Perkembangan iptek seperti sekarang ini akan mempermudah manusia melihat (merukyah) dan atau menghitung (menghisab) suatu objek, baik posisinya maupun kandungan yang ada di dalamnya. Selain itu iptek juga merupakan salah satu alat efektif untuk penyempurnaan ibadah kita kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW Sendiri bersabda:

“Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di dunia maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di akhirat maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan barangsiapa menghendaki kebahagiaan kedua-duanya (dunia-akkhirat) maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek).”

Pemahaman Publik Terhadap Dunia Astronomi Dilihat Dari Persfektif Historis

Dunia Astronomi yang hingga saat ini masih banyak belum dipahami oleh masyarakat yang dikdilatar belakangi oleh kualitas pendidikan. Secara logika memang betul, semakin besar kualitas pendidikan astronomi pada publik maka akan semakin banyak masyarakat yang akan paham terhadap astronomi. Semakin sedikit kualitas pendidikan astronomi pada masyarakat maka akan semakin sedikit pula masyarakat yang paham terhadap astronomi.

Pada bagian awal sejarahnya, astronomi memerlukan hanya pengamatan dan ramalan gerakan benda di langit yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Rigveda menunjuk kepada ke-27 rasi bintang yang dihubungkan dengan gerakan matahari dan juga ke-12 Zodiak pembagian langit. Yunani kuno membuatkan sumbangan penting sampai astronomi, di antara mereka definisi dari sistem magnitudo. Alkitab berisi sejumlah pernyataan atas posisi tanah di alam semesta dan sifat bintang dan planet, kebanyakan di antaranya puitis daripada harfiah; melihat Kosmologi Biblikal. Pada tahun 500 M, Aryabhata memberikan sistem matematis yang mengambil tanah untuk berputar atas porosnya dan mempertimbangkan gerakan planet dengan rasa hormat ke matahari.

Penelitian astronomi hampir berhenti selama abad pertengahan, kecuali penelitian astronom Arab. Pada akhir abad ke-9 astronom Muslim al-Farghani (Abu'l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani) menulis secara ekstensif tentang gerakan benda langit. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di abad ke-12. Pada akhir abad ke-10, observatorium yang sangat besar dibangun di dekat Teheran, Iran, oleh astronom al-Khujandi yang mengamati rentetan transit garis bujur Matahari, yang membolehkannya untuk menghitung sudut miring dari gerhana. Di Parsi, Umar Khayyām (Ghiyath al-Din Abu'l-Fath Umar ibn Ibrahim al-Nisaburi al-Khayyami) menyusun banyak tabel astronomis dan melakukan reformasi kalender yang lebih tepat daripada Kalender Julian dan mirip dengan Kalender Gregorian. Selama Renaisans Copernicus mengusulkan model heliosentris dari Tata Surya. Kerjanya dipertahankan, dikembangkan, dan diperbaiki oleh Galileo Galilei dan Johannes Kepler. Kepler adalah yang pertama untuk memikirkan sistem yang menggambarkan dengan benar detail gerakan planet dengan Matahari di pusat. Tetapi, Kepler tidak mengerti sebab di belakang hukum yang ia tulis. Hal itu kemudian diwariskan kepada Isaac Newton yang akhirnya dengan penemuan dinamika langit dan hukum gravitasinya dapat menerangkan gerakan planet.

Bintang adalah benda yang sangat jauh. Dengan munculnya spektroskop terbukti bahwa mereka mirip matahari kita sendiri, tetapi dengan berbagai temperatur, massa dan ukuran. Keberadaan galaksi kita, Bima Sakti, dan beberapa kelompok bintang terpisah hanya terbukti pada abad ke-20, serta keberadaan galaksi "eksternal", dan segera sesudahnya, perluasan Jagad Raya dilihat di resesi kebanyakan galaksi dari kita.

Kosmologi membuat kemajuan sangat besar selama abad ke-20, dengan model Ledakan Dahsyat yang didukung oleh pengamatan astronomi dan eksperimen fisika, seperti radiasi kosmik gelombang mikro latar belakang, Hukum Hubble dan Elemen Kosmologikal. Untuk sejarah astronomi yang lebih terperinci, lihat sejarah astronomi.

Perkembangan Astronomi Indonesia

A. Masyarakat tradisional
Seperti kebudayaan-kebudayaan lain di dunia, masyarakat asli Indonesia sudah sejak lama menaruh perhatian pada langit. Keterbatasan pengetahuan membuat kebanyakan pengamatan dilakukan untuk keperluan astrologi. Pada tingkatan praktis, pengamatan langit digunakan dalam pertanian dan pelayaran. Dalam masyarakat Jawa misalnya dikenal pranata mangsa, yaitu peramalan musim berdasarkan gejala-gejala alam, dan umumnya berhubungan dengan tata letak bintang di langit.

Nama-nama asli daerah untuk penyebutan obyek-obyek astronomi juga memperkuat fakta bahwa pengamatan langit telah dilakukan oleh masyarakat tradisional sejak lama. Lintang Waluku adalah sebutan masyarakat Jawa tradisional untuk menyebut tiga bintang dalam sabuk Orion dan digunakan sebagai pertanda dimulainya masa tanam. Gubuk Penceng adalah nama lain untuk rasi Salib Selatan dan digunakan oleh para nelayan Jawa tradisional dalam menentukan arah selatan. Joko Belek adalah sebutan untuk Planet Mars, sementara lintang kemukus adalah sebutan untuk komet. Sebuah bentangan nebula raksasa dengan fitur gelap di tengahnya disebut sebagai Bimasakti.

B.Masa modern

Pelaut-pelaut Belanda pertama yang mencapai Indonesia pada akhir abad-16 dan awal abad-17 adalah juga astronom-astronom ulung, seperti Pieter Dirkszoon Keyser dan Frederick de Houtman. Lebih 150 tahun kemudian setelah era penjelajahan tersebut, misionaris Belanda kelahiran Jerman yang menaruh perhatian pada bidang astronomi, Johan Maurits Mohr, mendirikan observatorium pertamanya di Batavia pada 1765. James Cook, seorang penjelajah Inggris, dan Louis Antoine de Bougainville, seorang penjelajah Perancis, bahkan pernah mengunjungi Mohr di observatoriumnya untuk mengamati transit Planet Venus pada 1769.

Ilmu astronomi modern makin berkembang setelah tahun 1928, atas kebaikan Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang pengusaha perkebunan teh di daerah Malabar, dipasang beberapa teleskop besar di Lembang Jawa Barat, yang menjadi cikal bakal Observatorium Bosscha, sebagaimana dikenal pada masa kini. Penelitian astronomi yang dilakukan pada masa kolonial diarahkan pada pengamatan bintang ganda visual dan survei langit di belahan selatan ekuator bumi, karena pada masa tersebut belum banyak observatorium untuk pengamatan daerah selatan ekuator. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, bukan berarti penelitian astronomi terhenti, karena penelitian astronomi masih dilakukan dan mulai adanya rintisan astronom pribumi.

Pendidikan Astronomi di Indonesia secara formal dilakukan di Departemen Astronomi, Institut Teknologi Bandung. Departemen Astronomi berada dalam lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan secara langsung terkait dengan penelitian dan pengamatan di Observatorium Bosscha. Lembaga negara yang terlibat secara aktif dalam perkembangan astronomi di Indonesia adalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Selain pendidikan formal, terdapat wadah informal penggemar astronomi, seperti Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, serta tersedianya planetarium di Taman Ismail Marzuki, Jakarta yang selalu ramai dipadati pengunjung.

Perkembangan astronomi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat, dan mendapat pengakuan di tingkat Internasional, seiring dengan semakin banyaknya pakar astronomi asal Indonesia yang terlibat dalam kegiatan astronomi di seluruh dunia, serta banyaknya siswa SMU yang memenangi Olimpiade Astronomi Internasional maupun Olimpiade Astronomi Asia Pasific. Demikian juga dengan adanya salah seorang putra terbaik bangsa dalam bidang astronomi di tingkat Internasional, yaitu Profesor Bambang Hidayat yang pernah menjabat sebagai vice president IAU (International Astronomical Union).

Berdasarkan analisa tersebut dapat dipahami, semakin bagus kualitas, pemahaman, serta pengetahuan pendidikan astronomi, maka akan besar peluang para lulusan dunia astronom dimata Internasional. Semuanya sangat tergantung sejauh mana keseriusan pemuda dalam menguasai dunia astronom, jika kualitas, pemahaman, serta pengetahuan pendidikan astronomi sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai kurikulum pendidikan Nasional.

Hal-hal yang berkitan dengan Astronomi

1. Ilmu Falak

Dalam khazanah intelektual Islam klasik ilmu falak sering disebut dengan ilmu hisab, miqat, rasd, dan hai'ah. Tak jarang pula disamakan dengan astronomi atau "falak ilmi". Dr. Yahya Syami dalam bukunya yang berjudul Ilmu Falak Safhat min at-Turats al-Ilmiy al-Arabiy wa al-Islamiy (1997) memetakan sejarah perkembangan ilmu hisab menjadi dua fase, yaitu fase pra-Islam (Mesir Kuno, Mesopotamia, Cina, India, Perancis, dan Yunani) dan fase Islam.

Fase Islam ditandai dengan proses penerjemahan karya-karya monumental dari bangsa Yunani ke dalam bahasa Arab. Karya-karya bangsa Yunani yang sangat mempengaruhi perkembangan hisab di dunia Islam adalah The Sphere in Movement (Al-Kurrah al-Mutaharrikah) karya Antolycus, Ascentions of The Signs (Matali' al-Buruj) karya Aratus, Introduction to Astronomy (Al-Madhkhal ila Ilmi al-Falak) karya Hipparchus, dan Almagesty karya Ptolomeus.

Ruang Lingkup

Ilmu Falak pada garis besarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu Falak Ilmiy, dan ilmu Falak Amaliy. Ilmu Falak Ilmiy disebut juga Theoritical Astronomy. Ilmu Falak Amaliy disebut juga Practical Astronomy. Ilmu Falak Amaliy inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai ilmu Falak atau Ilmu Hisab. Bahasan Ilmu Falak yang dipelajari dalam Islam adalah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, sehingga pada umumnya ilmu Falak ini mempelajari 4 bidang, yakni :

1. Arah Kiblat dan bayangan arah kiblat.
2. Waktu-waktu Sholat.
3. Awal bulan.
4. Gerhana.

Pada saat itu, kitab-kitab tersebut tak hanya diterjemahkan tetapi ditindaklanjuti melalui penelitian-penelitian dan akhirnya menghasilkan teori-teori baru. Dari sini muncul tokoh falak di kalangan umat Islam yang sangat berpengaruh, yaitu Al-Khwarizmi dengan magnum opusnya Kitab al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Buku ini sangat mempengaruhi pemikiran cendekiawan–cendekiawan Eropa dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert Chester pada tahun 535 H/ 1140 M dengan judul Liber algebras et almucabala, dan pada tahun 1247 H/ 1831 M diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Frederic Rosen.

Di Indonesia ilmu falak juga berkembang pesat. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang pertama terkenal sebagai bapak falak Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari. Namun, berdasarkan data historis sebenarnya selain Syekh Taher Jalaluddin pada masa itu juga ada tokoh-tokoh falak yang sangat berpengaruh, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ahmad Rifa'i, dan K.H. Sholeh Darat.

2. Ilmu Hisab

Di Indonesia ilmu Hisab juga berkembang pesat. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang pertama terkenal sebagai bapak hisab Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari.[1] Selain Syekh Taher Jalaluddin pada masa itu juga ada tokoh-tokoh hisab yang sangat berpengaruh, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, [2] Ahmad Rifa'i, [3] dan K.H. Sholeh Darat[4].

Selanjutnya perkembangan ilmu hisab di Indonesia dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah. Dalam perjalanannya Muhammadiyah telah berperan aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu hisab di Indonesia. Sayangnya hingga kini Muhammadiyah belum memiliki pedoman tentang hisab secara komprehensip. Oleh karena itu kehadiran pedoman hisab Muhammadiyah yang bersifat teoritis dan praktis merupakan sebuah keniscayaan. Pedoman hisab Muhammadiyah ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama membicarakan persoalan arah kiblat. Bagian kedua mengakji persoalan awal waktu salat, dan bagian ketiga menjelaskan tentang awal bulan kamariah. Masing-masing bagian ini merupakan landasan berpikir tentang Metodologi Hisab Muhammadiyah yang nantinya akan dijadikan pedoman dalam menggunakan software Hisab Muhammadiyah. Hal ini dimaksudkan agar proses kaderisasi ahli hisab di lingkungan Muhammadiyah berjalan sesuai yang diamanatkan Munas Tarjih XXVI di Padang dan Muktamar Muhammadiyah di Malang pada tahun 2005/1426.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam dunia astronomi, Para astronom kini sedang berjuang melindungi laboratorium alam terbesar agar tidak lenyap dari khasanah keilmuan umat manusia. Sebelum konferensi dunia keantariksaan III (UNISPACE III) di Vienna, Austria, bulan Juli 1999 mereka menggelar simposium membahas tiga ancaman besar bagi penelitian astronomi seperti polusi cahaya, interferensi radio, dan sampah antariksa.

Suatu dilemma teknologis dihadapi oleh mereka. Tetapi tidak banyak orang peduli dengan kepentingan umat manusia yang diperjuangkan para astronom. Pernyataan para astronom mungkin akan dinilai anti modernisasi. Dilemma itu antara lain dirasakan para astronom yang mengikuti workshop sains antariksa dasar yang diselenggarakan PBB di Honduras 1997. Ketika itu akan dirumuskan rekomendasi agar masalah-masalah astronomis tersebut masuk dalam draft UNISPACE III. Pimpinan sidang (perwakilan dari ESA, badan antariksa Eropa) mengingatkan agar rumusan jangan terlalu keras karena akan langsung berhadapan dengan kebijakan pengembangan teknologi yang sedang pesat dilakukan oleh banyak negara.

Polusi Cahaya

Polusi cahaya adalah contoh yang bisa dirasakan oleh orang awam. Di tengah kota besar kita tidak akan lagi merasakan keindahan langit dengan jutaan bintang di galaksi Bimasakti yang tampak seperti sungai perak. Cahaya lampu kota mengalahkannya. Purnama pun tidak lagi menarik perhatian orang kota. Astronom menginginkan lingkungan malam yang gelap gulita sehingga mampu melihat bintang dan galaksi yang paling redup. Tetapi mayoritas masyarakat tentu akan menolaknya bila lampu-lampu luar harus dipadamkan atau dibatasi. Gemerlap lampu kota telah diidentikkan dengan tingkat kemajuan masyarakatnya. Observatorium Boscha di Lembang merasakan dampak polusi cahaya kota Bandung dan Lembang sendiri yang mulai berkembang. Gemerlap lampu kota Bandung terlihat jelas dari lokasi observatorium. Akibatnya, pengamatan untuk objek redup yang biasanya perlu waktu perekaman lama akan terganggu oleh cahaya latar depan yang cukup kuat.

Observatorium yang letaknya sekitar 150 km dari pusat kota pun masih merasakan dampak polusi cahaya. Pada 1878 observatorium Universitas Tokyo terletak di tengah kota. Tahun 1920-an terpaksa harus dipindahkan ke Mitaka, di pinggiran Tokyo. Dan itu belum berakhir. Akibat perkembangan Tokyo, sejak 1955 lokasi pengamatan pun satu per satu bagiannya berpindah ke berbagai tempat yang jauh dari kota. Dan pada tahun 1990-an Jepang memutuskan mendirikan teleskop raksasanya, Subaru yang berdiameter 8 meter, di Mauna Kea, Hawaii. Mauna Kea saat ini disebut sebagai tempat paling baik untuk observatorium. Namun, ancaman pengembangan kawasan wisata di Hawaii juga mulai mengkhawatirkan para astronom.

Pada 1975 W. Sulliwan mempublikasikan gambar satelit yang diberi judul “Bumi di waktu malam”. Tampak kota-kota di negara-negara maju terang benderang, sedangkan di negara-negara berkembang masih tampak redup. Dengan analisis citra satelit tersebut Kosai dan kawan-kawan (1992) menunjukkan bagaimana energi listrik digunakan secara tidak efisien di negara-negara maju, sekadar untuk penerangan dan hiasan yang berlebihan. Dapat dipastikan saat ini gemerlap “Bumi di waktu malam” sudah merambah negera-negara berkembang. Menghadapi bahaya polusi cahaya itu para astronom berupaya keras meningkatkan teknologi pencitraan yang mampu meningkatkan kontras objek langit dari cahaya latar depan. Antara lain dengan kamera CCD. Walaupun demikian untuk objek sangat redup, kamera yang sensitif tidak akan mampu mengatasi polusi cahaya yang relatif cemerlang.

Upaya lain yang mulai diterapkan di beberapa negera adalah menganjurkan pemakaian lampu natrium untuk pemakaian di jalan, taman, dan ruang terbuka lainnya. Untungnya lampu natrium tersebut tergolong hemat energi sehingga anjuran tersebut banyak mendapat sambutan masyarakat. Dengan lampu yang berwarna kuning tersebut, para astronom kehilangan ruang spektrum 5800 angtrom, tetapi jendela spektrum lainnya diharapkan relatif aman. Tantangan baru kini muncul. Saat ini sedang dikembangkan dan mulai diuji cobakan satelit yang membawa cermin raksasa yang akan memantulkan cahaya matahari untuk menerangi beberapa bagian bumi pada waktu malam atau sekadar untuk tujuan artistik atau reklame. Himpunan Astronomi Dunia (IAU) sangat menentang program tersebut karena sangat membahayakan pengamatan malam dan pasti akan merusakkan banyak instrumen yang sangat peka cahaya. IAU memanfaatkan pertemuan UNISPACE III untuk mencari dukungan kebijakan internasional untuk melestarikan kondisi pengamatan astronomi sealami mungkin.

Demikian uraian ini saya sampaikan semoga para generasi penerus bangsa mencintai dunia astronomi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain dari pada itu, semoga tulisan ini bermanfaat untuk para pecinta dunia astonomi. Terima kasih. (Harrys Pratama Teguh)

Kamis, 18 November 2010

Andromeda_Galaksi_Spiral_

Menjelajah Keluasan Angkasa Raya; Refleksi Astronomi dalam Kehidupan-BAHAN AJAR GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Menjelajah Keluasan Angkasa Raya; Refleksi Astronomi dalam Kehidupan-BAHAN AJAR GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar*

Dahulu, pemahaman manusia terhadap alam semesta tidak lebih hanya sekedar pengamatan, tanpa ada penjelasan teoritis maupun eksperimen seperti yang lazim dilakukan untuk mengetahui suatu fenomena alam. Keteraturan dan keindahan alam raya ini menjadi obyek wisata manusia dahulunya. Alam semesta memang mengisyaratkan banyak hal, menyebabkan adanya berbagai macam hukum fisika yang berbeda-beda. Dan kita, manusia, hidup di dalam salah satu alam semesta itu, yang hukum-hukum fisikanya mendukung keberadaan kita. Jagad raya memang punya milyaran misteri yang selalu menarik perhatian manusia dari zaman ke zaman, dan dari sinilah muncul ilmu astronomi atau dalam Islam disebut ilmu falak. Ilmu ini lahir berawal dari usaha manusia untuk menyingkap berbagai rahasia yang terkandung di alam semesta. Astronomi selalu ada dalam kehidupan, astronomi merupakan satu cabang ilmu pengetahuan tertua yang terus dipelajari manusia hingga sekarang.

Lapangan pembahasan ilmu falak adalah langit dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Peradaban Babilonia, Cina, Mesir kuno, Persia, India, Yunani, dll. adalah peradaban yang telah menorehkan sejarah dalam pengamatan alam serta punya gagasan masing-masing tentang alam semesta, dari peradaban-peradaban ini pula lahirnya berbagai akselerasi astronomi modern. Dan hingga saat ini, penelitian tentang alam semesta telah sampai pada kecemerlangannya dengan berbagai penemuan yang menakjubkan, meski misteri tetap menyelip dibalik semesta ini. Kemajuan IPTEK dapat mendeteksi pergerakan alam semesta yang maha luas ini. Bulan beredar mengelilingi Bumi, Bumi berputar mengelilingi Matahari (revolusi) disamping beredar dalam porosnya sendiri (rotasi), Mataharipun beredar mengelilingi pusat galaksi, dimana setiap galaksi terdiri dari jutaan bintang yang bergerak di sekelilingnya. Demikian pula planet-planet dan berjuta-juta benda angkasa lainnya beredar dengan kadarnya masing-masing. Kecepatan gerak benda-benda angkasa tersebut berbeda-beda antara satu dengan yang lain dalam lintasannya. Kesemuanya tiada bertabrakan satu dengan yang lain, atau salah lintas, terlambat lintas, dll. Melalui teori dan penelitian, sifat dan karakter pergerakan benda-benda tersebut dapat diperkirakan secara cermat oleh manusia melalui berbagai teori ilmu. Inilah barang kali makna filosofis dari ayat Al-Quran yang menyatakan "wa kullun fi falakin yasbahun" (Dan masing-masing beredar pada garis edarnya) (QS. Yasin: 40)

Penelitian membuktikan, bulan bisa hancur bila terlalu dekat dengan bumi, oleh karenanya diperlukan keseimbangan. Bumi beredar dalam rangka menyelaraskan rotasi bulan, dan bulan-pun beredar dalam rangka menyelaraskan rotasi bumi, hingga terjadilah sinkronisasi. Bumipun berputar mengelilingi matahari dalam rangka menyeimbangkan agar bumi tidak tersedot oleh panasnya matahari. Setiap benda langit memiliki gaya gravitasi yang bersifat menarik atau menyedot benda lain yang ada di dekatnya. Justru karena gerakan melingkar itulah, maka sedotan matahari terhadap planet bumi dan benda-benda angkasa lainnya bisa diimbangi. Demikianlah, semuanya berjalan pada edar dan kadarnya masing-masing, punya hikmah dan sebab yang dapat dipelajari melalui berbagai perenungan dan teori.

Hikmah lain yang bisa diambil dari beredarnya benda-benda angkasa tersebut adalah, jika kita hidup di atas sebuah planet diam dimana segala sesuatu –termasuk bumi yang kita huni- tidak pernah berubah, sedikit sekali tentunya yang bisa dikerjakan dan dibayangkan manusia, dan tidak akan ada gairah untuk berpikir menuju ilmu pengetahuan. Tetapi kita hidup di alam semesta yang bergerak dan berubah. Di alam ini semua keadaan berubah mengikuti pola, aturan, atau mengikuti hukum-hukum alam. Seluruh peristiwa dan hukum-hukum alam itu memungkinkan kita bisa menggambarkan segala sesuatu. Akhirnya, kitapun bisa bekerja dengan ilmu, dan dengannya bisa memperbaiki hidup kita, dan dengannya pula bisa mengenal Sang Pencipta kita.

Dr. Moeji Raharto (Kepala Observatorium Boscha Lembang–Bandung, Guru Besar jurusan Astronomi ITB) menegaskan, " kita bisa mengetahui lebih dalam tentang kehidupan; bahwa alam semesta sangat cerdas; bahwa bumi sangat istimewa karena punya lempeng tektonik yang aktif, karena punya air yang bisa mengalir, susah menemukan padanannya di alam semesta. Jadi kalau dirusak, kita akan pindah ke mana?. Hal ini membuka kesadaran untuk menjaga bumi. Ternyata kita bagaikan sebutir pasir di alam semesta, yang pada akhirnya menuju satu, bahwa semua ini diciptakan oleh Dzat yang Maha Cerdas, Allah Swt. "

Mempelajari astronomi merupakan upaya memahami tatanan kehidupan. Awal mulanya dan hingga kini, kita selalu belajar dari alam untuk bertahan hidup. Kemampuan untuk membaca tanda di langit bisa dikatakan sebagai persoalan hidup dan mati. Kita menanam, memetik dan memanen hasil pertanian pada musim tertentu, tidak pada musim-musim yang lain, kesemuanya terkait dengan fenomena alam. Luas dan megahnya alam semesta ini dapat diketahui penghuni bumi dengan memandang langit malam yang cerah. Langit tampak penuh taburan bintang yang tak terhitung jumlahnya. Struktur dan luas alam semesta sangat sukar dibayangkan manusia, dan daya nalar manusia tentang itu memerlukan waktu yang lama. Manusia bisa mengetahui pengetahuan alam semesta yang luas, mengenal ciptaan Allah Swt. yang sebelumnya belum dikenal di muka bumi seperti Black Hole, Pulsar, ledakan bintang Nova atau Supernova, ledakan inti galaksi dan sebagainya. Akan tetapi, berbagai fenomena yang sangat dahsyat itu tak mungkin didekatkan dengan akal semata, namun iman justru jauh lebih berperan. Ditemukannya satu penemuan (iktisyâf), maka secara bersamaan bermunculan pula jutaan misteri yang terkandung di alam ini.

Lebuh lanjut, sains dan agama menegaskan alam semesta yang megah ini akan runtuh dan hancur, tapi entah bagaimana prosesnya, dan ada apa setelah kehancuran itu? Manusia tiada mampu menghitung dan membayangkannya, kecuali berserah kepada Allah Swt. untuk mencari jawabannya, karena Dialah Dzat yang Maha Mengetahui atas segala ciptaan-Nya, dan manusia hanya diberi pengetahuan sedikit saja.

Melalui astronomi, manusia mencoba mendeskripsikan apa dan bagaimana proses fenomena alam bisa terjadi dalam konteks eksperimen dan pengamatan, dengan parameter yang bisa diamati dan diukur, yang bisa benar bisa pula salah. Agama memperluas lagi spektrum makna alam semesta bagi manusia tentang kehadiran benda-benda alam semesta. Namun begitu, ternyata berbagai pertanyaan manusia tentang misteri alam semesta masih banyak yang belum terjawab atau mungkin tak terjawab hingga kapanpun. Ini membuktikan sungguh kecilnya kita dihadapan yang Maha Besar, Allah Swt. Wa'lLâh a'lam

* Program Pasca Sarjana Institut Manuskrip Arab Kairo, Jurusan Filologi & Studi Manuskri Arab (dalam tesis magister tahkik & dirasah manuskrip falak), Anggota Tim AFDA, Anggota kajian mingguan Falak-Astronomi Jam'iyyah al-falakiyyah Jami' Mushthafa Mahmud Kairo-Mesir.[]

Menjelajah Keluasan Angkasa Raya; Refleksi Astronomi dalam Kehidupan-BAHAN AJAR GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Menjelajah Keluasan Angkasa Raya; Refleksi Astronomi dalam Kehidupan-BAHAN AJAR GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar*

Dahulu, pemahaman manusia terhadap alam semesta tidak lebih hanya sekedar pengamatan, tanpa ada penjelasan teoritis maupun eksperimen seperti yang lazim dilakukan untuk mengetahui suatu fenomena alam. Keteraturan dan keindahan alam raya ini menjadi obyek wisata manusia dahulunya. Alam semesta memang mengisyaratkan banyak hal, menyebabkan adanya berbagai macam hukum fisika yang berbeda-beda. Dan kita, manusia, hidup di dalam salah satu alam semesta itu, yang hukum-hukum fisikanya mendukung keberadaan kita. Jagad raya memang punya milyaran misteri yang selalu menarik perhatian manusia dari zaman ke zaman, dan dari sinilah muncul ilmu astronomi atau dalam Islam disebut ilmu falak. Ilmu ini lahir berawal dari usaha manusia untuk menyingkap berbagai rahasia yang terkandung di alam semesta. Astronomi selalu ada dalam kehidupan, astronomi merupakan satu cabang ilmu pengetahuan tertua yang terus dipelajari manusia hingga sekarang.

Lapangan pembahasan ilmu falak adalah langit dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Peradaban Babilonia, Cina, Mesir kuno, Persia, India, Yunani, dll. adalah peradaban yang telah menorehkan sejarah dalam pengamatan alam serta punya gagasan masing-masing tentang alam semesta, dari peradaban-peradaban ini pula lahirnya berbagai akselerasi astronomi modern. Dan hingga saat ini, penelitian tentang alam semesta telah sampai pada kecemerlangannya dengan berbagai penemuan yang menakjubkan, meski misteri tetap menyelip dibalik semesta ini. Kemajuan IPTEK dapat mendeteksi pergerakan alam semesta yang maha luas ini. Bulan beredar mengelilingi Bumi, Bumi berputar mengelilingi Matahari (revolusi) disamping beredar dalam porosnya sendiri (rotasi), Mataharipun beredar mengelilingi pusat galaksi, dimana setiap galaksi terdiri dari jutaan bintang yang bergerak di sekelilingnya. Demikian pula planet-planet dan berjuta-juta benda angkasa lainnya beredar dengan kadarnya masing-masing. Kecepatan gerak benda-benda angkasa tersebut berbeda-beda antara satu dengan yang lain dalam lintasannya. Kesemuanya tiada bertabrakan satu dengan yang lain, atau salah lintas, terlambat lintas, dll. Melalui teori dan penelitian, sifat dan karakter pergerakan benda-benda tersebut dapat diperkirakan secara cermat oleh manusia melalui berbagai teori ilmu. Inilah barang kali makna filosofis dari ayat Al-Quran yang menyatakan "wa kullun fi falakin yasbahun" (Dan masing-masing beredar pada garis edarnya) (QS. Yasin: 40)

Penelitian membuktikan, bulan bisa hancur bila terlalu dekat dengan bumi, oleh karenanya diperlukan keseimbangan. Bumi beredar dalam rangka menyelaraskan rotasi bulan, dan bulan-pun beredar dalam rangka menyelaraskan rotasi bumi, hingga terjadilah sinkronisasi. Bumipun berputar mengelilingi matahari dalam rangka menyeimbangkan agar bumi tidak tersedot oleh panasnya matahari. Setiap benda langit memiliki gaya gravitasi yang bersifat menarik atau menyedot benda lain yang ada di dekatnya. Justru karena gerakan melingkar itulah, maka sedotan matahari terhadap planet bumi dan benda-benda angkasa lainnya bisa diimbangi. Demikianlah, semuanya berjalan pada edar dan kadarnya masing-masing, punya hikmah dan sebab yang dapat dipelajari melalui berbagai perenungan dan teori.

Hikmah lain yang bisa diambil dari beredarnya benda-benda angkasa tersebut adalah, jika kita hidup di atas sebuah planet diam dimana segala sesuatu –termasuk bumi yang kita huni- tidak pernah berubah, sedikit sekali tentunya yang bisa dikerjakan dan dibayangkan manusia, dan tidak akan ada gairah untuk berpikir menuju ilmu pengetahuan. Tetapi kita hidup di alam semesta yang bergerak dan berubah. Di alam ini semua keadaan berubah mengikuti pola, aturan, atau mengikuti hukum-hukum alam. Seluruh peristiwa dan hukum-hukum alam itu memungkinkan kita bisa menggambarkan segala sesuatu. Akhirnya, kitapun bisa bekerja dengan ilmu, dan dengannya bisa memperbaiki hidup kita, dan dengannya pula bisa mengenal Sang Pencipta kita.

Dr. Moeji Raharto (Kepala Observatorium Boscha Lembang–Bandung, Guru Besar jurusan Astronomi ITB) menegaskan, " kita bisa mengetahui lebih dalam tentang kehidupan; bahwa alam semesta sangat cerdas; bahwa bumi sangat istimewa karena punya lempeng tektonik yang aktif, karena punya air yang bisa mengalir, susah menemukan padanannya di alam semesta. Jadi kalau dirusak, kita akan pindah ke mana?. Hal ini membuka kesadaran untuk menjaga bumi. Ternyata kita bagaikan sebutir pasir di alam semesta, yang pada akhirnya menuju satu, bahwa semua ini diciptakan oleh Dzat yang Maha Cerdas, Allah Swt. "

Mempelajari astronomi merupakan upaya memahami tatanan kehidupan. Awal mulanya dan hingga kini, kita selalu belajar dari alam untuk bertahan hidup. Kemampuan untuk membaca tanda di langit bisa dikatakan sebagai persoalan hidup dan mati. Kita menanam, memetik dan memanen hasil pertanian pada musim tertentu, tidak pada musim-musim yang lain, kesemuanya terkait dengan fenomena alam. Luas dan megahnya alam semesta ini dapat diketahui penghuni bumi dengan memandang langit malam yang cerah. Langit tampak penuh taburan bintang yang tak terhitung jumlahnya. Struktur dan luas alam semesta sangat sukar dibayangkan manusia, dan daya nalar manusia tentang itu memerlukan waktu yang lama. Manusia bisa mengetahui pengetahuan alam semesta yang luas, mengenal ciptaan Allah Swt. yang sebelumnya belum dikenal di muka bumi seperti Black Hole, Pulsar, ledakan bintang Nova atau Supernova, ledakan inti galaksi dan sebagainya. Akan tetapi, berbagai fenomena yang sangat dahsyat itu tak mungkin didekatkan dengan akal semata, namun iman justru jauh lebih berperan. Ditemukannya satu penemuan (iktisyâf), maka secara bersamaan bermunculan pula jutaan misteri yang terkandung di alam ini.

Lebuh lanjut, sains dan agama menegaskan alam semesta yang megah ini akan runtuh dan hancur, tapi entah bagaimana prosesnya, dan ada apa setelah kehancuran itu? Manusia tiada mampu menghitung dan membayangkannya, kecuali berserah kepada Allah Swt. untuk mencari jawabannya, karena Dialah Dzat yang Maha Mengetahui atas segala ciptaan-Nya, dan manusia hanya diberi pengetahuan sedikit saja.

Melalui astronomi, manusia mencoba mendeskripsikan apa dan bagaimana proses fenomena alam bisa terjadi dalam konteks eksperimen dan pengamatan, dengan parameter yang bisa diamati dan diukur, yang bisa benar bisa pula salah. Agama memperluas lagi spektrum makna alam semesta bagi manusia tentang kehadiran benda-benda alam semesta. Namun begitu, ternyata berbagai pertanyaan manusia tentang misteri alam semesta masih banyak yang belum terjawab atau mungkin tak terjawab hingga kapanpun. Ini membuktikan sungguh kecilnya kita dihadapan yang Maha Besar, Allah Swt. Wa'lLâh a'lam

* Program Pasca Sarjana Institut Manuskrip Arab Kairo, Jurusan Filologi & Studi Manuskri Arab (dalam tesis magister tahkik & dirasah manuskrip falak), Anggota Tim AFDA, Anggota kajian mingguan Falak-Astronomi Jam'iyyah al-falakiyyah Jami' Mushthafa Mahmud Kairo-Mesir.[]

Sejarah Perkembangan Ilmu Falak Pra dan Pasca Islam-BAHAN AJAR PENDUKUNG PEMBELAJARAN GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Sejarah Perkembangan Ilmu Falak Pra dan Pasca Islam-BAHAN AJAR PENDUKUNG PEMBELAJARAN GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Oleh; Imam Labib H.R*.

Pendahuluan.

Pada bulan Agustus 2007, di Peru telah ditemukan pecahan benda luar angkasa yang diduga oleh para ahli sebagai sisa dari pecahan batu meteor yang jatuh ke dalam bumi. Sehingga memberikan bekas lobangan tanah berdiameter 30 meter dengan kedalaman 6 meter. Diperkirakan juga pada tahun 2029, bumi akan terancam dengan jatuhnya benda asteroid yang terlepas dari orbitnya dan akan menggoncangkan belahan bumi yang kejatuhan benda tersebut dengan gempa berskala 5.0 richter.

Hal-hal yang demikian tidak bisa terketahui oleh para ahli secara pasti tanpa adanya seperangkat ilmu pengetahuan yang mempelajari secara ilmiah tentang seluk beluk peredaran benda-benda luar angkasa yang keluar dari wilayah bulatan bumi dan udara yang melindunginya (atmosfer). Ilmu tersebut masyhur dengan sebutan Ilmu falak atau Astronomi. (lihat; Sabahah Fadha'iyyah Afaq Ilmil Falaq, Prof.Dr Muhammad Ahmad Sulaiman).

Dalam perkembangannya, ilmu falak (astronomi) dimulai dari zaman Babilonia, Mesir kuno, China, India, Persia, dan Yunani. Sudah ada pembahasannya tersendiri bersamaan dengan perkembangan Ilmu Nujum (Astrologi). Dan mereka memiliki gaya serta ciri khas masing-masing dalam mengamati serta meneliti akan benda-benda luar angkasa tersebut (bumi, matahari, bulan dan bintang). Bahkan dalam Islam sendiri tanda-tanda akan adanya astronomi sudah diawali ketika Nabi Ibrahim As. sedang mencari Tuhan-nya. Ia sendiri senantiasa mengawasi dan mengamati benda-benda luar angkasa seperti; matahari, bulan, dan bintang kecil di langit untuk menyakinkan dirinya akan siapa Tuhannya?. Akan tetapi pada zaman itu pengamatan tersebut belum bisa dikatakan sebagai hasil dari ilmu pengetahuan karena belum ada penelitian secara ilmiah hanya sebatas pengetahuan yang ditunjukkan khusus oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim As.; “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami yang terdapat di langit dan di bumi. Dan Kami memperlihatkannya agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata; “saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata; “Inikah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata; “sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata; “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata; “hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan”. (QS. Al-An’am: 75-78).

Ilmu Falak Pra Islam.

Jika Yunani dan Romawi dikatakan sebagai pewaris ilmu astronomi dari bangsa Babilonia dan Mesir kuno, maka Islam tanpa ada keraguan sama sekali, juga menerima warisan akan hasil perkembangan ilmu pengetahuan dari bangsa Yunani dan Romawi. (Ilmu Al-Falak wa al-Taqwiym; Dr. Muhammad Bashil Al-Thoiy).

Astronomi dan antropologi sudah dikenal semenjak bangsa Babilonia (Irak kuno) dengan mengamati rasi-rasi bintang. Dimana perbintangan tersebut menurut bangsa Babilonia sebagai petunjuk Tuhan yang harus di pecahkan. Bahkan pada zaman tersebut, manusia lebih banyak menggunakan rasi bintang untuk meramal kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga ilmu ramal (astrologi) lebih maju dan lebih diminati dibandingkan dengan astronomi itu sendiri. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan mereka tetap menggunakan ilmu astronomi guna membantu kehidupan mereka sehari-hari dalam hal penentuan musim, arah, pergantian hari dan bulan. Bahkan pada masa itu sudah mengalami perkembangan untuk melihat kapan terjadinya gerhana matahari atau bulan dengan petunjuk rasi bintang. Sehingga bangsa Babilonia memberikan sumbangan yang sangat penting sekali karena mereka bisa memunculkan tabel-tabel kalender tentang pergantian musim, waktu, bulan, gerhana dan pemetaan langit (observational tables).

Pada zaman ini, mulai ada penetapan waktu dalam satu hari yaitu 24 jam. Satu jamnya= 60 Menit dan satu menitnya= 60 detik. Ketika itu masyarakat Babilonia menyebutnya sebagai hukum Sittiyny, yaitu hukum per enam puluh. Karena mereka menganggap bahwa keadaan bumi adalah bulat dan berbentuk lingkaran yang memilki 360 derajat dan pembagiannya habis dengan 60 (Muhîtu’l ardh atau muhîthu’l falak). (Lihat; Tarîkhu’l ‘ulûm ‘inda’l Arab, Ali Abdullah Faris dan Ilmu’l Falak wa’t Taqwîm; Dr. Muhammad Bashil Al-Thoiy).

Kemudian untuk peradaban Mesir kuno, mereka menyakini bahwasanya bintang keseluruhannya hanyalah berjumlah 36 bintang dan masing-masing memiliki dewa penjaga dan setiap dewa tugasnya menjaga bintang tersebut selama 10 hari untuk setiap tahunnya yang menurut mereka setahunnya hanya berjumlah 360 hari. Sebenarnya mereka juga mempercayai, bahwasanya jumlah hari dalam setahun berjumlah 365 hari. Akan tetapi mereka berpendapat bahwasannya 5 hari selebihnya dijadikan sebagai hari kebahagiaan bagi mereka sehingga tidak masuk hitungan hari.

Bangsa Mesir kuno dinilai kurang begitu memperhatikan kajian seputar perbintangan atau benda-benda luar angkasa. Akan tetapi bangsa ini memberikan peninggalan yang sangat monumental yaitu dengan diciptakannya jam matahari (mizwalah) dan sebagai tanda penanggalan munculnya bintang sirius yang muncul sekitar tanggal 19 juli s.d. bulan agustus atau ditandai dengan banjirnya sungai nil.

Pada abad ke-6 SM (640-562 SM) seorang filusuf Yunani Thales yang dianggap sebagai seorang pelopor Astronomi Yunani kuno berpendapat bahwa bumi merupakan sebuah dataran yang sangat luas. Kemudian muncullah seorang filusuf matematika yaitu Phythagoras yang lahir di sebelah selatan Italia tahun 580 SM dan meninggal 500 SM. Ia berpendapat bahwa peredaran waktu itu terikat dengan kebiasaan dan gerakan secara alami. Begitu juga yang dialami oleh bintang, ia bergerak karena ada ikatan kebiasaan dan gerakan alam. Sehingga dalam kesempatan itu ia berani mengungkapkan pendapatnya dengan mengatakan bahwa bumi itu bulat. Dan bulan itu merupakan bagian tubuh yang kuat yang beredar dengan sendirinya seperti juga bumi.

Ungkapan yang dikemukakan oleh Thales dan Phythagoras di bantah oleh Aristarchus pada abad 3 SM. Ia mengemukakan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta. Mataharilah yang merupakan pusat alam semesta karena bukan ia yang mengelilingi bumi, namun bumilah yang berputar mengelilingi matahari (Heliosentris). Hal ini juga diungkapkan oleh Aristhoteles (384-322 SM) bahwasanya bintang 5 selain Bumi (Merkuri, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus) juga beredar dan bergerak bersamaan secara terikat dan teratur mengelilingi matahari. Begitu juga seperti pendapat Nicholas Copercius (w.1543 M), ia menuturkan; planet dan bintang bergerak mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran (da’iry) dan Johanes kepler (w.1630 M) juga memberikan pendapatnya tentang benda luar angkasa yang beredar mengelilingi matahari dan memilki orbit berbentuk elips (Ihlijiy).

Sebenarnya, kemunculan ilmu astronomi pada masa Yunani ini juga timbul bersamaan dengan ilmu astrologi sebagai warisan-warisan pengetahuan dari bangsa Babilonia dan Mesir kuno. Dari sini para filusuf Yunani memulai memikirkan dan mengamati akan peredaran gerak bintang atau benda-benda angkasa lainnya yang nampak dengan kasat mata.

Ilmu Falak Pasa Islam.

Pada hakekatnya ilmu falak yang berkembang dalam Islam, sebenarnya muncul dari ilmu perbintangan (astrologi) sebagai warisan dari bangsa Yunani dan Romawi. Karena pada saat itu kehidupan bangsa Arab berada di padang pasir yang sangat panas dan terbuka. Kehidupan mereka sering berpindah-pindah tempat. Apalagi di balik kehidupannya, mereka biasa bepergian jarak jauh untuk melakukan perdagangan ke negeri tetangga. Sehingga mereka membutuhkan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan tersebut.

Di saat permulaan risalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw., Ilmu falak belum mengalami perkembangan yang signifikan. Karena pada saat itu umat Islam hanya disibukkan dengan jihad perang dan menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh pelosok dunia. Sehingga aktifitas untuk mengkaji tentang astronomi sangat kurang sekali. Adapun jika ada, itu hanyalah sebatas pengetahuan-pengetahuan langsung yang diberikan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw.. Namun belum ada kajian ilmiyahnya yang berdasarkan dari ilmu pengetahuan.

Sedangkan pada zaman itu, Dalam menentukan waktu salatnya, umat Islam sudah mendapatkan petunjuk secara langsung dan detail dari Allah Swt. tanpa adanya kajian secara ilmiyah terlebih dahulu. Sehingga aturan baku waktu salat tidak bisa berubah dan sifatnya tetap dan tidak berkembang walau zaman telah berubah (Qoth’i). “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang di tentukan waktunya atas orang-orang beriman”. (QS. An Nisa; 103). “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. (QS. Al Isra; 78).

Dalam menentukan waktu salat 5, Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Waktu dhuhur itu dimulai dari tergelincirnya matahari tepat diatas bayang benda sampai bayang benda sama panjangnya dengan benda tersebut. Waktu ashar di mulai panjang bayang sama dengan bendanya sampai tenggelamnya matahari. Waktu maghrib di mulai dari tengelamnya matahari atau munculnya mega merah sampai hilangnya mega merah. Waktu isya’ mulai dari hilangnya mega merah sampai tiba waktu shubuh. Waktu shubuh dimulai sejak munculnya fajar shodiq sampai munculnya matahari kembali” (H.R. Muslim).

Setelah Islam menyebar sampai diluar Mekkah dan Madinah, mulailah para sahabat mengkaji akan khazanah ilmu falak dalam tinjauan Islam. Sehingga muncullah salah satu cabang Ilmu Astronomi (falak)--selain Ilmu Falak Ilmy--yaitu Ilmu Falak Syari yang mana metode pembahasan dan perkembangannya memacu pada kontrol al-Quran dan Sunah Rasul.

Kajian tentang falak sudah dimulai pada masa pemerintahan Bani Umayyah yaitu tepatnya pada masa kekhalifahan Khalid bin Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan (W. 85 H/704 M). Ini dikarenakan adanya kecenderungan Khalifah akan ilmu pengetahuan yang berkembang. Oleh karenanya pada masa ini, terjadilah perubahan-perubahan yang mendasar, terutama pada perkembangan keilmuan untuk mengkaji ilmu pengetahuan (sains). Hal ini terbukti dengan banyaknya penerjemahan buku-buku yang berkenaan dengan astronomi, kedokteran dan kimia. (Lihat; Ilmu Al-Falak wa al-Taqwiym; Dr. Muhammad Bashil Al-Thoiy)

Akan tetapi dalam perkembangannya, ilmu falak Islam sebenarnya dimulai dari kekhalifahan bani Abbasiyah. Dimasa pemerintahan Abu Ja’far al Mansur yang meletakkan kajian tersebut setelah Ilmu Tauhid, Fikih dan Kedokteran. Hal tersebut tidak terlepas dari peran serta dua peradaban kuno, yaitu; India dan Persia. Karena pada saat itu khalifah Abu Ja’far al-Mansur memerintahkan kepada Ibrahim bin Habib al-Fazari dan Umar bin Farhan at-Thabari untuk menerjemahkan berbagai buku tentang ilmu falak. Salah satunya Sind Hind yaitu buku yang membahas tentang ilmu matematika india di dalamnya terdapat metode dasar dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentang astronomi terhadap peredaran planet dan bintang atau benda-benda angkasa lainnya.

Kemudian al-Mansur juga memerintahkan kepada Abu Yahya untuk menerjemahkan kitab al-Maqâlât al-Arba’ah karya Ptolemaeus yaitu berbicara tentang sistem perbintangan. Dari sini mulailah bermunculan para pakar Islam yang menggeluti bidang astronomi. Seperti;
Muhammad bin Ibrahim bin habib al Fazari dengan bukunya seputar astronomi yang di dalamnya dibahas juga tentang akidah, kitab Miqyas Li al Zawal, Zij ’ala Sinny al Arab dan Astrolabe (kitab seputar alat-alat astronomi model kuno).

Ya’qub bin Thariq (w. 179 H/796 M) yang telah berhasil menerjemahkan kitab Al-Arkindi dan Tarkibu’l Aflâk. Al Arkindi yaitu buku yang membahas tentang almanak perbintangan (Ephemeris) atau kalender astronomi berisikan tentang tabel-tabel yang menerangkan akan peredaran matahari, bulan dan bintang dalam garis orbit.

Pada masa khalifah Mansur ini, dana negara yang dikeluarkannya untuk membiayai pengembangan astronomi tidaklah sedikit, sehingga tidak heran jika hasil-hasil yang dicapai sangatlah memuaskan. Dan kajian ilmu falakpun tetap berlanjut serta mengalami fase kemajuan di masa-masa selanjutna.

Sedangkan kajian tentang astronomi Islam mencapai masa kejayaan dan keemasan ketika tampuk pemerintahan dipegang oleh Makmun bin Harun Al-Rasyid (w. 218 H/833 M) karena pada masa itu buku-buku tentang astronomi yang berbahasa Persia, India, Yunani banyak yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan di masa Makmun ini juga muncul para ahli astronomi yang terkenal seperti; Sind bin Ali, Ahmad bin Abdullah al Marwazi, Khalid bin Abdul Malik, Yahya bin Abi Mansur al Munajjim, Ali bin ‘Isy , Abu Ishak al Kindi, Ali bin al Buhtari dan Abdul Malik al Marwazi.

Selanjutnya di Abad seterusnya pengembangan ilmu falak di tubuh Islam masih tetap berlanjut hingga kini. Dan sudah mengalami perkembangan sesuai dengan ilmu pengetahuan, al-Quran dan Sunah.

“Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya) dan telah menundukkan bagimu siang dan malam” (QS. Ibrahim: 33)

“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya” (QS. Al-Anbiya; 33).

Penutup.

Dari sini bisa ditelusuri, bahwasanya ilmu falak Islam tidak dinafikkan lagi telah banyak mengadopsi astronomi dari peradaban sebelumnya; Babilonia, Mesir kuno, India, Persia, Cina, Yunani dan Romawi. Karena Astronomi (falak) dan ilmu Nujum (Astrologi) kedua-duanya berkembang secara bersamaan, walaupun bentuk dan karekteristiknya sangatlah berbeda.
Perkembangan ilmu falak Islam tidak hanya berhenti pada sisi teoritis normatif belaka yang berpedoman pada al-Quran dan Sunah, tetapi sudah terkombinasikan oleh ilmu-ilmu pasti, seperti; matematika, fisika, kimia dan biologi. Karena dalam mengkaji ilmu falak tidak terlepas dari ilmu-ilmu tersebut. Wallahu A’lam.[]

Sejarah Perkembangan Ilmu Falak Pra dan Pasca Islam-BAHAN AJAR PENDUKUNG PEMBELAJARAN GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Sejarah Perkembangan Ilmu Falak Pra dan Pasca Islam-BAHAN AJAR PENDUKUNG PEMBELAJARAN GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Oleh; Imam Labib H.R*.

Pendahuluan.

Pada bulan Agustus 2007, di Peru telah ditemukan pecahan benda luar angkasa yang diduga oleh para ahli sebagai sisa dari pecahan batu meteor yang jatuh ke dalam bumi. Sehingga memberikan bekas lobangan tanah berdiameter 30 meter dengan kedalaman 6 meter. Diperkirakan juga pada tahun 2029, bumi akan terancam dengan jatuhnya benda asteroid yang terlepas dari orbitnya dan akan menggoncangkan belahan bumi yang kejatuhan benda tersebut dengan gempa berskala 5.0 richter.

Hal-hal yang demikian tidak bisa terketahui oleh para ahli secara pasti tanpa adanya seperangkat ilmu pengetahuan yang mempelajari secara ilmiah tentang seluk beluk peredaran benda-benda luar angkasa yang keluar dari wilayah bulatan bumi dan udara yang melindunginya (atmosfer). Ilmu tersebut masyhur dengan sebutan Ilmu falak atau Astronomi. (lihat; Sabahah Fadha'iyyah Afaq Ilmil Falaq, Prof.Dr Muhammad Ahmad Sulaiman).

Dalam perkembangannya, ilmu falak (astronomi) dimulai dari zaman Babilonia, Mesir kuno, China, India, Persia, dan Yunani. Sudah ada pembahasannya tersendiri bersamaan dengan perkembangan Ilmu Nujum (Astrologi). Dan mereka memiliki gaya serta ciri khas masing-masing dalam mengamati serta meneliti akan benda-benda luar angkasa tersebut (bumi, matahari, bulan dan bintang). Bahkan dalam Islam sendiri tanda-tanda akan adanya astronomi sudah diawali ketika Nabi Ibrahim As. sedang mencari Tuhan-nya. Ia sendiri senantiasa mengawasi dan mengamati benda-benda luar angkasa seperti; matahari, bulan, dan bintang kecil di langit untuk menyakinkan dirinya akan siapa Tuhannya?. Akan tetapi pada zaman itu pengamatan tersebut belum bisa dikatakan sebagai hasil dari ilmu pengetahuan karena belum ada penelitian secara ilmiah hanya sebatas pengetahuan yang ditunjukkan khusus oleh Allah Swt. kepada Nabi Ibrahim As.; “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami yang terdapat di langit dan di bumi. Dan Kami memperlihatkannya agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata; “saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata; “Inikah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata; “sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata; “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata; “hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan”. (QS. Al-An’am: 75-78).

Ilmu Falak Pra Islam.

Jika Yunani dan Romawi dikatakan sebagai pewaris ilmu astronomi dari bangsa Babilonia dan Mesir kuno, maka Islam tanpa ada keraguan sama sekali, juga menerima warisan akan hasil perkembangan ilmu pengetahuan dari bangsa Yunani dan Romawi. (Ilmu Al-Falak wa al-Taqwiym; Dr. Muhammad Bashil Al-Thoiy).

Astronomi dan antropologi sudah dikenal semenjak bangsa Babilonia (Irak kuno) dengan mengamati rasi-rasi bintang. Dimana perbintangan tersebut menurut bangsa Babilonia sebagai petunjuk Tuhan yang harus di pecahkan. Bahkan pada zaman tersebut, manusia lebih banyak menggunakan rasi bintang untuk meramal kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga ilmu ramal (astrologi) lebih maju dan lebih diminati dibandingkan dengan astronomi itu sendiri. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan mereka tetap menggunakan ilmu astronomi guna membantu kehidupan mereka sehari-hari dalam hal penentuan musim, arah, pergantian hari dan bulan. Bahkan pada masa itu sudah mengalami perkembangan untuk melihat kapan terjadinya gerhana matahari atau bulan dengan petunjuk rasi bintang. Sehingga bangsa Babilonia memberikan sumbangan yang sangat penting sekali karena mereka bisa memunculkan tabel-tabel kalender tentang pergantian musim, waktu, bulan, gerhana dan pemetaan langit (observational tables).

Pada zaman ini, mulai ada penetapan waktu dalam satu hari yaitu 24 jam. Satu jamnya= 60 Menit dan satu menitnya= 60 detik. Ketika itu masyarakat Babilonia menyebutnya sebagai hukum Sittiyny, yaitu hukum per enam puluh. Karena mereka menganggap bahwa keadaan bumi adalah bulat dan berbentuk lingkaran yang memilki 360 derajat dan pembagiannya habis dengan 60 (Muhîtu’l ardh atau muhîthu’l falak). (Lihat; Tarîkhu’l ‘ulûm ‘inda’l Arab, Ali Abdullah Faris dan Ilmu’l Falak wa’t Taqwîm; Dr. Muhammad Bashil Al-Thoiy).

Kemudian untuk peradaban Mesir kuno, mereka menyakini bahwasanya bintang keseluruhannya hanyalah berjumlah 36 bintang dan masing-masing memiliki dewa penjaga dan setiap dewa tugasnya menjaga bintang tersebut selama 10 hari untuk setiap tahunnya yang menurut mereka setahunnya hanya berjumlah 360 hari. Sebenarnya mereka juga mempercayai, bahwasanya jumlah hari dalam setahun berjumlah 365 hari. Akan tetapi mereka berpendapat bahwasannya 5 hari selebihnya dijadikan sebagai hari kebahagiaan bagi mereka sehingga tidak masuk hitungan hari.

Bangsa Mesir kuno dinilai kurang begitu memperhatikan kajian seputar perbintangan atau benda-benda luar angkasa. Akan tetapi bangsa ini memberikan peninggalan yang sangat monumental yaitu dengan diciptakannya jam matahari (mizwalah) dan sebagai tanda penanggalan munculnya bintang sirius yang muncul sekitar tanggal 19 juli s.d. bulan agustus atau ditandai dengan banjirnya sungai nil.

Pada abad ke-6 SM (640-562 SM) seorang filusuf Yunani Thales yang dianggap sebagai seorang pelopor Astronomi Yunani kuno berpendapat bahwa bumi merupakan sebuah dataran yang sangat luas. Kemudian muncullah seorang filusuf matematika yaitu Phythagoras yang lahir di sebelah selatan Italia tahun 580 SM dan meninggal 500 SM. Ia berpendapat bahwa peredaran waktu itu terikat dengan kebiasaan dan gerakan secara alami. Begitu juga yang dialami oleh bintang, ia bergerak karena ada ikatan kebiasaan dan gerakan alam. Sehingga dalam kesempatan itu ia berani mengungkapkan pendapatnya dengan mengatakan bahwa bumi itu bulat. Dan bulan itu merupakan bagian tubuh yang kuat yang beredar dengan sendirinya seperti juga bumi.

Ungkapan yang dikemukakan oleh Thales dan Phythagoras di bantah oleh Aristarchus pada abad 3 SM. Ia mengemukakan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta. Mataharilah yang merupakan pusat alam semesta karena bukan ia yang mengelilingi bumi, namun bumilah yang berputar mengelilingi matahari (Heliosentris). Hal ini juga diungkapkan oleh Aristhoteles (384-322 SM) bahwasanya bintang 5 selain Bumi (Merkuri, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus) juga beredar dan bergerak bersamaan secara terikat dan teratur mengelilingi matahari. Begitu juga seperti pendapat Nicholas Copercius (w.1543 M), ia menuturkan; planet dan bintang bergerak mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran (da’iry) dan Johanes kepler (w.1630 M) juga memberikan pendapatnya tentang benda luar angkasa yang beredar mengelilingi matahari dan memilki orbit berbentuk elips (Ihlijiy).

Sebenarnya, kemunculan ilmu astronomi pada masa Yunani ini juga timbul bersamaan dengan ilmu astrologi sebagai warisan-warisan pengetahuan dari bangsa Babilonia dan Mesir kuno. Dari sini para filusuf Yunani memulai memikirkan dan mengamati akan peredaran gerak bintang atau benda-benda angkasa lainnya yang nampak dengan kasat mata.

Ilmu Falak Pasa Islam.

Pada hakekatnya ilmu falak yang berkembang dalam Islam, sebenarnya muncul dari ilmu perbintangan (astrologi) sebagai warisan dari bangsa Yunani dan Romawi. Karena pada saat itu kehidupan bangsa Arab berada di padang pasir yang sangat panas dan terbuka. Kehidupan mereka sering berpindah-pindah tempat. Apalagi di balik kehidupannya, mereka biasa bepergian jarak jauh untuk melakukan perdagangan ke negeri tetangga. Sehingga mereka membutuhkan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan tersebut.

Di saat permulaan risalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw., Ilmu falak belum mengalami perkembangan yang signifikan. Karena pada saat itu umat Islam hanya disibukkan dengan jihad perang dan menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh pelosok dunia. Sehingga aktifitas untuk mengkaji tentang astronomi sangat kurang sekali. Adapun jika ada, itu hanyalah sebatas pengetahuan-pengetahuan langsung yang diberikan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw.. Namun belum ada kajian ilmiyahnya yang berdasarkan dari ilmu pengetahuan.

Sedangkan pada zaman itu, Dalam menentukan waktu salatnya, umat Islam sudah mendapatkan petunjuk secara langsung dan detail dari Allah Swt. tanpa adanya kajian secara ilmiyah terlebih dahulu. Sehingga aturan baku waktu salat tidak bisa berubah dan sifatnya tetap dan tidak berkembang walau zaman telah berubah (Qoth’i). “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang di tentukan waktunya atas orang-orang beriman”. (QS. An Nisa; 103). “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. (QS. Al Isra; 78).

Dalam menentukan waktu salat 5, Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Waktu dhuhur itu dimulai dari tergelincirnya matahari tepat diatas bayang benda sampai bayang benda sama panjangnya dengan benda tersebut. Waktu ashar di mulai panjang bayang sama dengan bendanya sampai tenggelamnya matahari. Waktu maghrib di mulai dari tengelamnya matahari atau munculnya mega merah sampai hilangnya mega merah. Waktu isya’ mulai dari hilangnya mega merah sampai tiba waktu shubuh. Waktu shubuh dimulai sejak munculnya fajar shodiq sampai munculnya matahari kembali” (H.R. Muslim).

Setelah Islam menyebar sampai diluar Mekkah dan Madinah, mulailah para sahabat mengkaji akan khazanah ilmu falak dalam tinjauan Islam. Sehingga muncullah salah satu cabang Ilmu Astronomi (falak)--selain Ilmu Falak Ilmy--yaitu Ilmu Falak Syari yang mana metode pembahasan dan perkembangannya memacu pada kontrol al-Quran dan Sunah Rasul.

Kajian tentang falak sudah dimulai pada masa pemerintahan Bani Umayyah yaitu tepatnya pada masa kekhalifahan Khalid bin Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan (W. 85 H/704 M). Ini dikarenakan adanya kecenderungan Khalifah akan ilmu pengetahuan yang berkembang. Oleh karenanya pada masa ini, terjadilah perubahan-perubahan yang mendasar, terutama pada perkembangan keilmuan untuk mengkaji ilmu pengetahuan (sains). Hal ini terbukti dengan banyaknya penerjemahan buku-buku yang berkenaan dengan astronomi, kedokteran dan kimia. (Lihat; Ilmu Al-Falak wa al-Taqwiym; Dr. Muhammad Bashil Al-Thoiy)

Akan tetapi dalam perkembangannya, ilmu falak Islam sebenarnya dimulai dari kekhalifahan bani Abbasiyah. Dimasa pemerintahan Abu Ja’far al Mansur yang meletakkan kajian tersebut setelah Ilmu Tauhid, Fikih dan Kedokteran. Hal tersebut tidak terlepas dari peran serta dua peradaban kuno, yaitu; India dan Persia. Karena pada saat itu khalifah Abu Ja’far al-Mansur memerintahkan kepada Ibrahim bin Habib al-Fazari dan Umar bin Farhan at-Thabari untuk menerjemahkan berbagai buku tentang ilmu falak. Salah satunya Sind Hind yaitu buku yang membahas tentang ilmu matematika india di dalamnya terdapat metode dasar dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentang astronomi terhadap peredaran planet dan bintang atau benda-benda angkasa lainnya.

Kemudian al-Mansur juga memerintahkan kepada Abu Yahya untuk menerjemahkan kitab al-Maqâlât al-Arba’ah karya Ptolemaeus yaitu berbicara tentang sistem perbintangan. Dari sini mulailah bermunculan para pakar Islam yang menggeluti bidang astronomi. Seperti;
Muhammad bin Ibrahim bin habib al Fazari dengan bukunya seputar astronomi yang di dalamnya dibahas juga tentang akidah, kitab Miqyas Li al Zawal, Zij ’ala Sinny al Arab dan Astrolabe (kitab seputar alat-alat astronomi model kuno).

Ya’qub bin Thariq (w. 179 H/796 M) yang telah berhasil menerjemahkan kitab Al-Arkindi dan Tarkibu’l Aflâk. Al Arkindi yaitu buku yang membahas tentang almanak perbintangan (Ephemeris) atau kalender astronomi berisikan tentang tabel-tabel yang menerangkan akan peredaran matahari, bulan dan bintang dalam garis orbit.

Pada masa khalifah Mansur ini, dana negara yang dikeluarkannya untuk membiayai pengembangan astronomi tidaklah sedikit, sehingga tidak heran jika hasil-hasil yang dicapai sangatlah memuaskan. Dan kajian ilmu falakpun tetap berlanjut serta mengalami fase kemajuan di masa-masa selanjutna.

Sedangkan kajian tentang astronomi Islam mencapai masa kejayaan dan keemasan ketika tampuk pemerintahan dipegang oleh Makmun bin Harun Al-Rasyid (w. 218 H/833 M) karena pada masa itu buku-buku tentang astronomi yang berbahasa Persia, India, Yunani banyak yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan di masa Makmun ini juga muncul para ahli astronomi yang terkenal seperti; Sind bin Ali, Ahmad bin Abdullah al Marwazi, Khalid bin Abdul Malik, Yahya bin Abi Mansur al Munajjim, Ali bin ‘Isy , Abu Ishak al Kindi, Ali bin al Buhtari dan Abdul Malik al Marwazi.

Selanjutnya di Abad seterusnya pengembangan ilmu falak di tubuh Islam masih tetap berlanjut hingga kini. Dan sudah mengalami perkembangan sesuai dengan ilmu pengetahuan, al-Quran dan Sunah.

“Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya) dan telah menundukkan bagimu siang dan malam” (QS. Ibrahim: 33)

“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya” (QS. Al-Anbiya; 33).

Penutup.

Dari sini bisa ditelusuri, bahwasanya ilmu falak Islam tidak dinafikkan lagi telah banyak mengadopsi astronomi dari peradaban sebelumnya; Babilonia, Mesir kuno, India, Persia, Cina, Yunani dan Romawi. Karena Astronomi (falak) dan ilmu Nujum (Astrologi) kedua-duanya berkembang secara bersamaan, walaupun bentuk dan karekteristiknya sangatlah berbeda.
Perkembangan ilmu falak Islam tidak hanya berhenti pada sisi teoritis normatif belaka yang berpedoman pada al-Quran dan Sunah, tetapi sudah terkombinasikan oleh ilmu-ilmu pasti, seperti; matematika, fisika, kimia dan biologi. Karena dalam mengkaji ilmu falak tidak terlepas dari ilmu-ilmu tersebut. Wallahu A’lam.[]
Sibâhah Fadhâiyah fîy Afâqi ‘ilmi’l falak - BAHAN PENDUKUNG PEMBELAJARAN GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Oleh : Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman
Resentator : Faiq Fuadi

Masih ingatkah kisah Nabi Ibrahim dalam pengembaraannya mencari Tuhan? Bagaimana ia melalui proses yang panjang sampai bisa menemukan Allah? Dan bagaimana beliau mampu menyimpulkan bahwasanya makhluk hidup itu harus monoteisme?

Dalam bukunya Sabâhah fadhâiyah fîy afâqi ‘ilmi’l falak, Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman menerangkan di manakah urgensi belajar ilmu –dalam hal ini ilmu Falak? Apa sebenaranya tujuan dari ilmu ini? Apakah hanya sekedar mengetahui serta memahami benda-benda angkasa dan setalah itu kita simpan di salah satu “rak” otak kita? Profesor yang kemarin menghadiri seminar falak international yang diprakarsai Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Jakarta ini memberikan ulasanya bagaimanakah proses kerja orbit alam kita ini. Bagaimana mungkin alam yang begitu besar dan rumit menjadi bagian dari tata surya yang terdiri dari milyaran bintang dapat berjalan selaras dan serasi dan bertabrakan satu sama lain. Benarkah ini adalah kehendak alam yang datang dari sebab akibat? Dari beberapa pertanyaan di atas, muncul satu kesimpulan pasti bahwa kerumitan proses terjadinya tatasurya, peredaran bintang sesuai dengan orbitnya, dan lain sebagainya adalah runtutan alam yang memiliki satu pengatur murni, Ia tak lain adalah Tuhan, Allah Swt..

Bagi pemula, buku ini cocok untuk seseorang yang ingin mendalami tatasurya astronomi serta falak syari. Begitu lugasnya Dr. Sulaiman menguraikan kedashyatan al-Quran dari sisi ilmu pengetahuan modern. Di sini terlihat banyak sekali pembahasan yang tampak rumit dan kompleks dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi namun ternyata sudah terekam dalam al-Quran.

Dalam pembahasanya, buku ini dibagi dalam sembilan bab. Bab satu menerangkan secara garis besar apa itu ilmu falak dan urgensinya dalam kehidupan manusia. Bab tiga sampai bab delapan buku ini secara tuntas menerangkan tentang benda-benda langit dan pendukungnya, seperti komet, planet, garis peredaran, zat pembentuknya dan lainya. Sedangkan falak syari dijelaskan dalam bab sembilan.[]

Menelisik Metodologi Hisab-Falak Muhammadiyah; Studi Historis-Komparatif
06 Maret 2009 0:04
I. Mukadimah

Dari sekian banyak cabang ilmu falak (astronomi), Falak syar’i menempati pososi strategis dalam Islam, ini terkait dengan beberapa ibadah yang secara langsung bersentuhan denga falak syar’i. Paling tidak ada empat hal: Menentukan awal bulan Qamariyah, Menentukan jadwal shalat, Menentukan bayang dan arah kiblat, Menentukan kapan dan dimana terjadinya gerhana. Kaitanya dalam penentuan awal bulan Qamariyah sampai saat ini belum ada satu sistem yang disepakati dan digunakan secara bersama-sama. Ini dikarenakan penentuan tersebut adalah masalah ijtihâdy.


II. Defenisi Falak (Astonomi)

Kata falak bermakna orbit edarnya benda-benda angkasa. Astronomi berasal dari kata Astro berarti Bintang, dan Nomia berarti Ilmu. Ilmu Falak (Astronomi) adalah Ilmu yang mempelajari tentang tata lintas benda-benda angkasa (terutama bulan, bumi, dan matahari) secara sistematis dan ilmiah, demi kepentingan manusia.

Kata falak juga tersebut dalam al-Quran, antara lain QS.Yasin ayat 40:

لا الشمس ينبغي لها أن تدرك القمر ولا الليل سابق النهار وكل فى فلك يسبحون

Carlo Nillino berpendapat kata falak yang banyak beredar dalam al-Quran bukan berasal dari bahasa Arab, akan tetapi teradopsi dari bahasa Babilonia yaitu Pulukku yang berarti edar.
Astronomi dengan Astrologi sangatlah berbeda, meski kedua-duanya “sama”, sama dalam objek yang diamati (langit), keduanya memang tidak lepas dari pemaknaaan benda-benda langit. Astrologi mempelajari hubungan kedudukan rasi bintang (zodiak), planet, matahari dan bulan terhadap karakter dan nasib seseorang. Sementara Astronomi tidak hanya mempelajari planet, matahari, bulan, bintang, tapi juga galaksi, black hole, pulsar, dan benda-benda angkasa lainnya. Astronomi mempelajari alam secara fisika-matematika dan hukum-hukum alamnya.
Secara alamiah, ilmu ini terus berkembang, sehingga membawa konsekuensi kepada berubahnya penamaan ilmu ini, meski obyeknya tetap sama. Diantara ragam penamaan tersebut; 'Ilm al-Nujûm, 'Ilm Hay'ah, 'Ilm Hay'ah al-Aflâk, 'Ilm Hay'ah al-'Âlam, 'Ilm al-Aflâk, 'Ilm Shinâ'ah al-Nujûm, 'Ilm al-Tanjîm, 'Ilm Shinâ'ah al-Tanjîm, 'Ilm Ahkâm al-Nujûm.

Perkembangan selanjutnya, ilmu falak terus berkembang dengan berbagai elaborasi dan akselerasi ilmiah hingga akhirnya ilmu ini dengan khas nama Ilmu Falak mengakar di peradaban Islam sampai saat ini.

III. Sejarah & Peradaban Falak

Pembahasan ilmu falak adalah langit dengan segala yang berada di dalam dan sekitarnya. Bangsa-bangsa kuno Babilonia, Mesir, Cina, India, Persia, dan Yunani misalnya, masing-masing telah mengenal Astronomi (falak) dan Astrologi (nujum) secara bersamaan dengan cara masing-masing.

Kegiatan astronomis dan astrologis telah dilakukan sejak dahulu kala oleh masyarakat dalam peradaban Babilonia, Cina, Mesir kuno, namun belum menjadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Kemudian muncul peradaban Yunani pada abad ke-6 SM, yang menjadikan astronomi sebagai ilmu pengetahuan. Thales dianggap sebagai ilmuwan yang mempelopori ilmu Astronomi klasik di Yunani. Dia berpendapat bahwa Bumi merupakan sebuah dataran yang luas. Muncul tokoh-tokoh lain seperti Phytagoras, Aristarchus (teori Heliosentris), Hiparchus (teori Geosentris), Cladius Ptolomeus (w.160 M) lewat karyanya Almagest, yang menjadi buku pedoman Astronomi hingga di masa awal abad pertengahan.

Sekitar tiga belas abad kemudian, sistem Geosentris runtuh oleh teori Heliosentris Nicholas Copernicus di tahun 1512. Ia menuturkan, planet dan bintang bergerak mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran (da'iry). Johanes Kepler mendukung gagasan itu di tahun 1609 melalui teori bahwa matahari adalah pusat tata surya, Kepler juga memperbaiki orbit planet menjadi bentuk elips (ihlijy) yang dikenal dengan tiga hukum Kepler-nya. Galileo Galilei (w.1642 M) menciptakan Teleskop monumental di dunia. Dari pengamatannya, ia berkesimpulan bahwa bumi bukan pusat gerak. Penemuan Teleskop tersebut memperkuat konsep Heliosentris Copernicus.

Dalam Islam, pada awalnya Ilmu Falak juga tidak lebih hanya sebagai kajian nujumisme (Astrologi). Hal ini terjadi antara lain dengan dua alasan; 1) Kebisaan hidup mereka di padang pasir yang luas serta kecintaan mereka pada bintang-bintang untuk mengetahui tempat terbit dan terbenamnya, mengetahui pergantian musim. 2) Keterpengaruhan mereka terhadap kebiasaan bangsa-bangsa yang berdekatan dengan mereka yang punya kebiasaan yang sama (Astrologi).

Datangnya Rasulullah Saw. beserta risalah-nya, menjelaskan bahwa masa bagi Allah Swt. adalah sama. Ini membawa konsekwensi dalam Islam kegiatan astrologi adalah dilarang.

Sepeninggal Rasulullah Saw. tepatnya pada masa Dinasti AbbasiyyahJa'far al-Mansurberjasa meletakkan Ilmu Falak pada posisi istimewa, setelah Ilmu Tauhid, Fikih, dan Kedokteran. Ketika itu, Ilmu Falakdikenal juga Astronomitidak hanya dipelajari dan dilihat dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja, namun lebih dari itu, ilmu ini lebih dikembangkan sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan science lain seperti; ilmu pelayaran, pertanian, kemiliteran, pemetaan. Pada pemerintahan Khalifah al-Makmun, kajian Astronomi dibuat secara sistematik dan intensif yang melahirkan sarjana-sarjana Falak Islam semisal al-Battani (w.317 H), al-Buzjani (w.387 H), Ibn Yunus (399 H), At-Thusy (w.672 H), al-Biruny (w.442 H).

Di masa al-Makmun, mulai marak pula gerakan penerjemahan literatur-literatur Falak asing kedalam bahasa Arab, seperti buku “Miftah al-Nujum” yang dinisbahkan pada Hermes Agung (Hermes al-Hakim) dimasa Umawiyah, menyusul buku Sind Hind tahun 154 H/ 771 M yang diterjemahkan oleh Ibrahim al Fazzary, Almagest Ptolomaeus yang diterjemahkan oleh Yahya bin Khalid al-Barmaky dan disempurnakan oleh al-Hajjaj bin Mutharr dan Tsabit bin Qurrah (w.288 H).

IV. Penetapan Awal-awal Bulan Qamariyah; Rukyah dan Hisab

Pada masa Rasulullah Saw., proses melihat (ru’yah) hilal sangat sederhana. Cukup dengan menanti matahari terbenam di hari ke-29, lalu mencari bulan sabit. Jika ada dua orang yang melihatnya, sudah bisa dipastikan malam ini adalah tanggal satu (pergantian hari di kalender hijriah terjadi ketika maghrib). Jika hilal tidak terlihat, bilangan bulan akan digenapkan menjadi 30. Berarti, esok hari masih tanggal 30 bulan yang sama. Tanggal satu akan jatuh besok sore. Cara ini sangat sederhana dan sangat cocok dengan keadaan umat Islam pada masa itu yang sebagian besar buta huruf (ummiy).

Periode revolusi bulan terhadap bumi lamanya 29.530589 hari. Nyaris 29.5 hari. Dengan memanfaatkan ini, disepakati bahwa lamanya suatu bulan berseling antara 29 dan 30 hari. Metode pembuatan kalender hijriah yang seperti ini disebut dengan metode hisab urfi.

Hisab urfi tidak selalu mencerminkan fase bulan yang sebenarnya. Ia hanya metode pendekatan. Satu siklus fase bulan yang lamanya 29.53 hari didekati dengan 29 dan 30 hari. Karenanya, untuk keperluan ibadah, meru’yah (melihat) hilal secara langsung tetap harus dilakukan

Metode hisab lain yakni dengan menghitung posisi bulan yang sebenarnya, disebut dengan hisab hakiki. Hisab Hakiki dapat dibagi menjadi 3 macam, yakni hisab hakiki taqribi, tahkiki, dan kontemporer. Ketiga hisab hakiki ini menggunakan rumus dan nilai konstanta yang berbeda.

Penanggalan Islam Hijriyah didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan terhadap bumi). sedangkan penaggalan Miladiyah/Masehi didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi terhadap matahari). Awal bulan Qamariyah diawali dengan munculnya hilal, yaitu bulan sabit yang pertama kali terlihat (the first visible crescent). Untuk saat ini dengan adanya ilmu astronomi mutakhir, yang sudah sangat akurat dalam menghitung, menentukan dan memperkirakan seluk beluk penentuan hilal dengan sangat teliti dan detail (misalnya ketinggian derajat hilal di atas ufuk/horison dan perbedaan sudut ke arah hilal dengan ke arah matahari). Dalam ketelitian ini kemungkinan terjadi kesalahan adalah 1 banding 3600, dan tingkat ketelitian ini sudah melebihi dari cukup untuk menentukan awal bulan Qamariyah.


1. Rukyah

Ru’yah secara etimologi adalah melihat. Bermakna melihat dengan mata (bi’l ‘ain), bisa pula bermakna melihat dengan ilmu (bi’l ‘ilmi). Rukyah dimaksud dalam hal ini adalah melihat hilal di akhir Sya’ban/Ramadhan untuk menentukan tanggal satu Ramadhan/Syawal.

Cukup banyak hadits yang menyatakan tentang rukyah hilal terkait dengan penetapan Ramadhan dan Syawal, antara lain:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، - رضى الله عنهما - عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ ‏"‏ لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ‏"‏ ‏‏.‏

Dari informasi makna zhahir contoh hadits di atas, agaknya jelaslah bahwa dalam memulai dan mengakhiri puasa dan hari raya hanya dengan rukyah hilal saja, yaitu terlihatnya hilal di awal Ramadhan dan Syawal sesuai dengan keumuman dan keliteralan dari hadits di atas. Dengan kriteria jika awan dalam keadaan cerah pada saat terbenam matahari tanggal 29 Sya’ban maka esok harinya adalah awal puasa, demikian pula jika hilal terlihat pada tanggal 29 Ramadhan esok harinya adalah hari raya dan rukyah hilal mutlak dilakukan. Namun jika terdapat penghalang yang menutupi hilalseperti mendungmaka pelaksanaan puasa dan atau hari raya harus ditunda sehari dengan menggenapkan (istikmâl) bilangan bulan Sya’ban dan atau Ramadhan menjadi 30 hari.

Dalam praktek selanjutnya, penerapan rukyah terdapat keragaman dikalangan fuqaha’ dalam hal berapa orang jumlah minimal dalam melihat hilal tersebut. Hanafiyah menetapkan jika awan dalam keadaan cerah, maka dengan rukyah kolektif (ru’yah jama’ah) dan tidak mengambil kesaksian orang per-orang menurut pendapat yang râjih, dengan alasan, dalam keadaan cuaca cerah tentu tidak ada penghalang bagi seseorang untuk tidak dapat melihat hilal sementara yang lain melihat. Namun jika hilal dalam keadaan tidak memungkinkan untuk dilihat, mencukupilah kesaksian satu orang dengan syarat ia beragama Islam, adil, berakal dan dewasa.

Sementara Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan minimal dengan kesaksian satu orang baik cuaca dalam keadaan cerah atau ada penghalang, dengan catatan, perukyah (al-râ’iy) beragama Islam, dewasa, berakal, merdeka, laki-laki dan adil. Selanjutnya pula kesaksian (rukyah) tersebut harus dipersaksikan dihadapan qâdhi (pemerintah).

Hal ini bedasarkan hadits dari Ibnu Umar RA.:

قال : تراءى الناس الهلال , فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أني رأيته , فصام وأمر الناس بصيامه

Demikian juga dengan kesaksian seorang A’rabi bahwa dia melihat hilal, lantas Nabi Saw. bertanya; “apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah” ia menjawab “ya”, lantas Nabi Saw. bertanya lagi “apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah” ia menjawab “ya”, lantas Nabi Saw. bersabda “ya Bilal, umumkanlah kepada manusia dan hendaklah mereka berpuasa”. HR. Ibnu Hibban, Daraquthni, Thabrani dan Hakim.

Selanjutnya wajib pula terhadap orang yang melihat hilal untuk berpuasa meskipun tidak dipersaksikan dihadapan qadhi (pemerintah), begitu pula terhadap orang yang percaya dan meyakininya (liman shaddaqahu) meskipun orang yang melihat hilal tersebut anak-anak (shabiy), wanita, hamba, orang fasik, bahkan orang kafir sekalipun.

Adapun Malikiyah menetapkan dengan tiga kriteria; 1.) Rukyah kolektif , 2.) Rukyah satu orang adil, 3.) Rukyah dua orang adil. Point (1) dan (2) dengan dalil terdahulu. Adapun rukyah dua orang adil berdasarkan hadis:

عن عبد الرحمن بن زيد بن الخطاب أنه خطب فى اليوم الذي شك فيه فقال :ألا إني جالست أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وسألتهم, وأنهم حدثوني أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وانسكوا لها , فإن غم عليكم فأتموا ثلاثين يوما, فإن شهد شاهدان مسلمان فصوموا وأفطروا


Akan tetapi seiring dengan majunya peradaban manusia yang dibarengi dengan tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, hadis-hadis di atas mulai direaktualisasikan dalam konteks kekinian. Ini dikarenakan dalam aktifitas rukyah banyak sekali kelemahan-kelemahan yang seharusnya tidak terjadi pada saat ini.

Berdasarkan penelitian intensif yang dilakukan oleh para pakar Hisab-Falak (Astronomi) terdapat beberapa kelemahan rukyah:

1. Jauhnya jarak hilal (bulan) dari permukaan bumi (mencapai sekitar 40.000 kilometer), sementara bulan hanya mengisi sudut sekitar 2 ½ derajat yang berarti hanya mengisi 1/80 sudut pandang mata manusia tanpa menggunakan alat. Ini berarti hilal hanya mengisi sekitar 1,25 % dari pandangan, oleh sebab itu pengaruh benda sekitar yang mengisi 98,75 % sangatlah besar.
2. Hilal hadir hanya sebentar saja (sekitar 15 menit s.d. 1 jam), padahal pandangan mata sering terhalang oleh awan yang banyak terdapat di negara tropis dan basah karena banyaknya lautan seperti Indonesia. Karena lembabnya permukaan lautan maupun daratan didekatnya maka hasil penguapannya membentuk awan yang mengumpul di dekat permukaan disekitar ufuk. Justru pada ketinggian yang rendah disekitar ufuk inilah hilal diharapkan hadir dan dapat dilihat.
3. Keadaan lain yang menyulitkan pelaksanaan rukyah hilal adalah kondisi sore hari, terutama yang menyangkut pencahayaan, karena kemuncuan hilal sangat singkat maka rukyah harus dilaksanakan secepat mungkin setelah matahari terbenam. Pada saat itu meskipun matahari sudah di bawah ufuk, cahayanya masih terlihat benderang, selanjutnya akan muncul cahaya kuning keemasan (cerlang petang). Cahaya ini sangat kuat dan nyaris menenggelamkan cahaya hilal yang sangat redup.
4. Banyaknya penghalang di udara berupa awan, asap kenderaan, asap pabrik, dll.
5. Kesulitan lainnya, hilal pada umumnya terletak tidak jauh dari arah matahari, yaitu hanya beberapa derajat ke sebelah utara atau selatan tempat terbenamnya matahari.
6. Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental), sebab melihat adalah gabungan antara proses jasmani dan proses rohani (psikis), yang dominan adalah proses psikis. Sekalipun ada benda, citra benda di selaput jala dan isyarat listrik yang menyusuri urat saraf menuju otak, seseorang tidak akan melihat apapun jika otaknya tidak siap, misalnya karena melamun, maka dalam hal ini proses psikis tidak terjadi, sehingga proses melihat tidak terjadi pula. Sebaliknya, meskipun proses psikis tidak ada–misalnya bendanya tidak ada sehingga tidak ada citra benda, tidak ada isyarat optik maupun listriknamun jika proses mentalnya hadir, maka ia ‘merasa’ dan kemudian ‘mengaku’ melihat. Dalam ilmu psikologi, proses ini dikenal dengan istilah halusinasi, yaitu berupa perasaan ingin sekali berjumpa atau sangat rindu pada benda yang akan dilihat, atau merasa yakin bahwa bendanya pasti ada. Jika terhadap benda yang besar seperti manusia, gunung, gedung, dll. bisa salah lihat, apalagi terhadap hilal yang jauh lebih kecil bahkan redup.


Dengan alasan-alasan diatas manusia mulai berpikir untuk mencari solusi dari kenyataan ini, hisab-falak agaknya menjadi pilihan. Namun lagi-lagi hal ini tidaklah mudah, sebab hal ini terkait juga dengan aspek syari’at (fikih). Karenanya perbincangan seputar ini semakin hangat dan menarik untuk diteliti dan didiskusikan.

2. Hisab

Hisab secara etimologi bermakna menghitung (‘adda), kalkulasi (ahsha), dan mengukur (qaddara). Dimaksud dalam hal ini adalah menghitung pergerakan posisi hilal di akhir bulan-bulan Qamariyah untuk menentukan awal-awal bulan−khususnya Ramadhan-Syawal−dengan menggunakan alat-alat perhitungan.

Jenis hisab dalam ilmu falak (ilmu astronomi) meliputi perhitungan astronomis khusus menyangkut posisi bulan dan matahari untuk mengetahui kapan dan di permukaan mana terjadi peristiwa astronomis itu terjadi. Hisab pada mulanya hanya di gunakan untuk penentuan awal bulan Qamariyah, namun seiring maju pesatnya ilmu pengetahuan, ilmu hisab terus berkembang, di antaranya yang masih ada kaitanya dengan ibadah, misalnya hisab waktu shalat dan imsakiyah, hisab arah kiblat, hisab gerhana bulan dan matahari, hisab konversi penanggalan hijriyah-masehi, hisab visibilitas hilal dari sebuah tempat, hisab bayang kiblat.

Imam Taqiyuddin al-Subki (w.756) dalam Fatâwa-nya menyatakan terdapat beberapa ulama besar (kibâr) yang mewajibkan atau setidaknya membolehkan berpuasa berdasarkan hasil hisab yang menyatakan bahwa hilal telah mencapai ketinggian yang memungkinkan untuk terlihat (imkân al-ru’yah). Menurutnya, pendapat ini yang disebutnya sebagai wajh, memandang imkân al-ru’yah sebagai sebab wajibnya puasa dan hari raya, berbeda dengan wajh ashah yang tetap mengaitkannya dengan nafs al-ru’yah atau ikmâl al-‘iddah. Selanjutnya beliau mengemukakan bila pada suatu kasus ada orang yang mengkhabarkan atau menyaksikan bahwa hilal telah tampak, padahal hisab dengan muqaddimât-nya yang qath’i menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat−misalnya karena posisinya yang terlalu dekat dengan matahari−maka informasi tersebut harus dianggap keliru dan kesaksian tersebut harus ditolak. Hal ini beliau kemukakan mengingat nilai khabar dan kesaksian bersifat zhan sedang hisab bersifat qath’i, telah diketahui bahwa sesuatu yang qath’i tidak dapat didahului atau dipertentangkan dengan sesuatu yang zhan.

Pernyataan al-Subki ini selanjutnya mendapat dukungan dari beberapa ulama yang datang kemudian seperti imam al-Syarwani, al-‘Abbadi dan al-Qalyubi (w.1069). Al-Qalyubi mengatakan: “yang benar, rukyah hanyalah sah pada waktu hilal memang mungkin terlihat”, yaitu meskipun ia tetap mendasarkan pada rukyah tetapi juga menempatkan hisab pada posisi cukup penting. Secara lebih tegas al-Syarwani dan al-‘Abbadi mengatakan ;”seyogyanya, jika menurut hisab qath’i hilal telah berada pada posisi memungkinkan terlihat setelah matahari terbenam, kiranya hal itu telah cukup dijadikan acuan meskipun dalam kenyataan (zhahir) hilal tidak tampak”.

Berdasarkan perhitungan-perhitungan yang dilakukan para ulama falak menunjukkan bahwa data yang dihasilkan dipandang lebih dari cukup dan akurat menurut syara’, diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa perhitungan hisab-falak sudah selalu memberikan hasil yang sangat akurat tanpa menyisakan perbedaan yang berarti. Sehingga tidak berlebihan, banyak ulama kontemporer mendukung bahkan mewajibkan penggunaan data hisab-falak dalam menentukan awal bulan Qamariyah terkhusus Ramadhan-Syawal.

Thanthawi Jawhari dalam tafsirnya al-Jawhar fiy Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm secara panjang lebar menyatakan kemestian menggunakan data hisab-falak dalam memulai puasa dan hari raya, hal ini dapat disimak dalam pandangan beliau ketika mengomentari surat Yunus ayat 5 serta ayat-ayat yang berkaitan dengan perhitungan gerak siang-malam.

Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manâr juga menyerukan (membolehkan) untuk menggunakan data hisab-falak dalam komentarnya terhadap ayat-ayat puasa dan perhitungan gerak bulan dan matahari.

Selanjutnya lagi Ahmad Muhammad Syakir , juga menyatakan demikian dalam salah satu karyanya “Awâ’il as-Syuhûr al-‘Arabiyyah, Hal Yajûzu Syar’an Itsbâtuhâ bi’l Hisâbât al-Falakiyyah”, bahkan ia mengatakan cukup banyak (aktsar) fuqaha’ dan muhadditsîn yang tidak mengetahui ilmu falak, bahkan kebanyakan mereka (katsîr minhum) tidak mempercayai para pakar ilmu itu, terlebih-lebih mereka menganggap itu adalah sesuatu yang bid’ah.

Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqh al-Shiyâm-nya menyebutkan pula secara tegas sekaligus menyeru untuk menerima fakta ini dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Ahmad Muhammad Syakir diatas.

V. Konsep Muhammadiyah dalam Menentukan Awal Bulan Qamariyah

Setiap tahun menjelang Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah masyarakat bertanya-tanya kenapa sering terjadi perbedaan antara ormas-ormas dan pemerintah dalam menentukan awal bulal-bulan tersebut. Pertanyaan tersebut muncul dikarenakan belum ada consensus (ijmâ’) mengenai dasar penetapan bulan-bulan Qamariyah (terutama tiga bulan di atas). Apakan sitem rukyah(melihat hilal), wujudul hilal (bila pada hari ijtima’ terjadi, saat terbenam mataharti, hilal muncul di atas ufuk), ataukah imkanur rukyah(hisab yang menyatakan standar kemungkinan hilal bisa dilihat pada saat tersebut). Maka dengan perbedaan dalam menggunakan sistem di atas sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pula pada hasilnya.

Dalam kalender Hijriyah dikenal istilah hisab ‘urfi dan hisab hakiki. Hisab ‘urfi didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem ini ditetapkan oleh Umar bin Khatab (17H) . Sistem kalender urfi seperti kalender Syamsiyah (Miladiyah), bilangan hari tiap-tiap bulan sama, kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Jadi, penanggalan seperti ini tidak bisa dipakai untuk menentukan awal bulan Qamariyah untuk pelaksanaan ibadah( Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah), karena jika berdasarkan sistem ini, maka jumlah hari pada bulan Sya’ban dan Ramadhan tetap, yaitu 29 untuk Sya’ban dan 30 untuk Ramadhan. Adapun Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Dalam konteks Indonesia, hisab hakiki dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi, yaitu hisab hakiki taqribi , hisab hakiki tahqiqi , dan hisab hakiki kontemporer .

Dalam penentuan awal bulan Qamariayah, Muhammadiyah selalu mengkorelasikan antara dimensi ideal-wahyu dan peradaban manusia. Ini sebagai mana tertuang dalam HPT(Himpunan Putusan Tarjih) Muhammadiyah bahwa berpuasa dan Idul Fitri itu dengan rukyah dan tidak berhalangan dengan hisab. Menurut Djarnawi Hadikusuma , teks di atas hasil dari keputusan muyawarah Tarjih tanggal 1-7 Mei 1932 di Makassar. Ini berarti Muhammadiyah secara implisit mengakui rukyah dan hisab dalm arti memposisikan di tengah-tengah(menggunakan sistem rukyah dan hisab).

Dalam Himpunan Putusan Tarjih dijelaskan “apabila ahli hisab menetapakan bahwa bulan belum tampak atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataanya ada orang yang melihat pada malam itu juga, manakah yang mu’tabar? majelis Tarjih memutuskan bahwa rukyahlah yang mu’tabar”.

Kecenderungan di atas kemudian dielaborasi kembali dalam Munas Tarjih ke-25 pada tanggal 5-7 Juli 2000 di Jakarta pada komisi III yang membahas penentuan awal bulan Qamariyah dan matlak. Dari musyawarah tersebut menghasilkan bahwa kedudukan hisab sama dengan rukyah. Lihat putusan Munas tarjih ke-25 di Jakarta.

Namun demikan, dalam realitas empirik, Muhmmadiyah tidak pernah memakai rukyah telanjang dalam penentuan awal bulan Qamariyah(terutama Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah). Ini dikarenakan Muhammadiyah berpandangan bahwa “rukyah bengan mata telanjang itu sulit dan Muhammadiyah berpandangan bahwa agama itu tidaklah sempit, maka hisab bisa digunakan dalam penentuan awal bulan Qamariyah”, karena hisab juga merupakan interpretasi pemaknaan rukyah, yakni ru’yah bi’l ‘ilmi.

Djarnawi Hadikusuma menjelaskan:

“…kelihatan atau tidak, apabila hilal sudah wujud pasti saat itu sudah masuk tanggal satu bulan baru. Sah wujudnya suatu benda adalah tidak disyaratkan mungkin untuk dilihat oleh mata. Banyak hal-hal yang teryata ada atau wujud, namun tidak dilihat oleh mata atau dirasa oleh indera manusia. Dan ini sejalan dengan ilmu tauhid. Apalagi hilal adalah benda yang kongrit, bukan abstrak. Tidak kelihatanya hilal yang sudah wujud, tidaklah menganulir wujudnya hilal itu.”

Dari kutipan di atas, dapat menggambarkan bahwa hisab wujudul hilal Muhammadiyah bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin bisa dilihat atau tidak, tetapi menjadi dasar dalam penetapan awal bulan Qamariyah dan sekaligus dijadikan bukti bulan baru Qamariayah sudah masuk atau belum.

Hal ini senada apa yang diungkapakan Basit Wahid sebagaimana dikutip T. Djamaluddin, bahwa wujudul hilal telah digunakan sejak 1969, karena di Indonesia belum ada kriteria yang sahih secara ilmiah bagi imkanur rukyah. Bahkan sampai saat ini kriteria imkanur rukyah masih beragam.

Paling tidak ada dua alasan mengapa Muhammadiyah menggunakan konsep wujudul hilal dalam menentukan awal bulan Qamariyah. Pertama, sistem wujudul hilal merupakan sikap tengah dari dua konsep penentuan awal bulan Qamariyah, yaitu antara sistem ijtima’ qablal ghurub(sudah menganggap bulan baru ketika terjadi ijtimak sebelum terbenam matahari meski hilal belum wujud pada saat matahari terbenam) dan sistem imkanur rukyah(menganggap bulan baru jika kemungkinan hilal bisa dilihat). Wujudul hilal adalah tengah-tengah dari dua sistem tersebut, dengan kriteria ijtimak sudah terjadi dan hilal harus sudah wujud (ketika matahari tenggelam), meski tidak bisa terlihat–karena keterbatasan mata manusia. Kedua, wujudul hilal menempati posisi tengah-tengah antara sistem hisab murni (tidak mempedulikan terjadinya hilal) dan sistem rukyah murni (sangat mempeduliakn terlihatnya hilal). Wujudul hilal berada di tengah-tengah dua sistem di atas yang mempedulikan hilal meski tidak terlihat.


VI. Hisab Hakiki dan Wujudul Hilal Model Muhammad Wardan

Secara umum, munculnya teori hisab hakiki didorong atas keprihatinan terhadap model dan pola penentuan awal bulan Qamariyah konvensional-tardisional yang biasa berlaku saat ini. Wardan mengungkapkan:

“Orang baru berpuasa Ramadlan kalau sudah terdengar bunyi tidur (duger) di masdjid-masdjid atau di surau-surau d.l.l., yaitu pemukulan tidur (bedug pen.) atau tabuh berturut-turut pada petang hari sesudah sholat ‘Ashar mendjelang 1 Ramadlan, atau belum mau berhari raja kalau belum terdengar suara tidur jang dipukul pada petang hari sesudah sholat ‘Ashar mendjelang 1 Sjawal, dan pemukulan tidur tersebut dilakukan menurut ketentuan adat, adat jang menentukan tanggal 1 bulan baru berdasarkan hisab ‘urfi, sehingga bila mana diikuti penentuan tanggal 1 Ramadlan dan Sjawal berdasarkan kalau bedug dibunyikan dan ditabuh berturut-turut, maka selamanya umur bulan Ramadlan itu pasti, dan tetap 30 hari dan tidak pernah 29 hari. Padahal umur bulan Ramadlan baik berdasarkan rukyat hilal atau hisab hakiki, dan pula sesuai dengan hadits Nabi S.a.w. bahwa umur bulan Ramadlan, kadang-kadang 30 hari dan kadang-kadang 29 hari.”

Atas dasar itu, Muhammad Wardan berijtihad menawarkan model baru dalam menetapkan awal bulan Qamariyah, yang dia istilahkan hisab hakiki dengan sistem wujudul hilal. Dan konsep wijudul hilal inilah yang masih dipertahankan hingga kini. Dalam bukunya “Hisab Urfi dan Hakiki” dijelaskan , ada tiga cara menetapkan tanggal satu bulan baru, yaitu bila saat terbenam matahari (sunset) pada akhir bulan, hilal telah tampak, artinya benar-benar terlihat (rukyah) atau kemungkinan dapat dilihat meskipun tidak terlihat (imkanur rukyah), atau hilal sudah wujud (meskipun tidak bisa terlihat mata). Menurut Susiknan Azharisalah satu dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta−langkah ini (baca: wujudul hilal) ditempuh sebagai jalan tengah antara ijtima’ qablal ghurub dan sistem imkanur rukyah atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyah murni.
Meski buku ini dicetak tahun 1957, tanpa mengurangi nilai pentingnya karya ini dan konstribusi pemikiran Muhammad Wardan, diharapkan para pemerhati ilmu hisab menindaklanjuti pemikiranya melalui riset yang berkesinambungan. Karena salah satu kelemahan sistem hisab hakiki adalah penggunaan data. Misalnya, data yang disediakan dalam buku “Hisab ‘Urfi dan Hakiki” bersifat tetap. Padahal seharusnya data tersebut berubah-ubah karena pergerakan matahari, bulan dan bumi itu sendiri, meski perubahan tersebut tidak seberapa besar.

VII. Wujudul Hilal dan Matlak

Praktek matlak yang dimaksud adalah keputusan yang pernah dikeluarkan oleh pimpinan Pusat Muhammaiyah pada tahun 1962. Dalam surat yang diedarkan bahwa untuk daerah sebelah barat makassar, Idul Fitri 1381/1962 jatuh pada hari Rabu Pahing 7Maret 1967(pada petangketika matahari terbenamRabu itu hilal sudah wujud). Sedangkan wilayah timur Makassar, pada hari Kamis Pon 8 Maret 1962 (karena pada petang Rabu tanggal 6 Maret 1962 hilal belum wujud).

Hal serupa pernah terjadi di tubuh NU, pemikiran matlak tersebar dalam dokumen resmi NU(berita Mabarat, berita Nahdhatul Ulama, Kumpulan Masalah Diniyah alm Muktamar NU, dan AULA) sejak 1926-2003. Secara jelas dalam Munas Alim Ulama Situbondo disebutkan dalam ahkâmu’l Fuqaha no. 342: “Penetapan Pemerintah tentang awal Ramadlan dan Syawal dengan menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Sebab menurut jumhurus salaf bahwa thubut awal Ramadlan dan awan Syawal itu hanya birru’yah au itmamil adadi tsalatsina yauman”

Setelah itu pada Munas Alim Ulama NU di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap pada 23-26 Rabi’ul Awal 1408 H/15-18 November 1987 M, persoalan matlak mulai diperbincnagkan. Secara jelas disebutkan dalam ahkamu’l Fuqaha no. 369 poin 5 b: “NU telah lama mengikuti pendapat ulama yang tidak membedakan Matlak dalam penetapan awal Ramadlan, Idul Fitri dan Idul Adha, yakni ru’yatul hilal di salah satu tempat Indonesia yang diterima oleh Pemerintah sebagai dasar penetapan awal Ramadlan, Idul Firti dan Idul Adha berlaku di seluruh Indonesia walaupun berbeda matla’nya”.

Dapat difahami antara Muhammadiyah dan NU sama-sama memutuskan bahwa matlak bersifat lokal bukan internasional. Ini senada apa yang ungkapkan oleh Hamka, menurutnya kalau kita berada di tanah suci Mekah, kita harus mengikuti ketetapan pemerintah Arab Saudi. Akan tetapi kalau kita berada di Indonesia, maka kita harus mengikuti pemerintah Indonesia. Ini mempunyai arti, Muhammadiyah dan NU belum melakukan kajian tentang matlak dengan kerangka teori mayoritas fungsinal dan minoritas fungsional. Ini dapat difahami NU mengembangkan nalar literature-inderawi, yang menjadikan rukyah sebagai penentu awal bulan Qamariyah. Sedangkan Muhammadiyah mengusung rasional-ilmiah melalui konsep wujudul hilal.

VIII. Penutup

Penetapan awal Ramadhan-Syawal adalah persoalan ijtihad, sehingga sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan dan pendapat. Pernyataan Nabi S.a.w. “faqdurû lah” dan “fa in ghumma ‘alaikum fa akmilû al-‘iddah tsalâtsîn”, hadis pertama tertuju pada orang-orang yang mengerti ilmu hisab-falak, hadis kedua tertuju pada orang awam (sesuai dengan pernyataan Ahmad Muhammad Syakir yang mengutip pendapat Ibnu Suraij) ditambah argumen-argumen lainnya. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam rukyah terdapat banyak kelemahan dipandang dari sudut IPTEK, sehingga metode ini perlu dielaborasi dan disederhanakan dengan fasilitas teknologi modern (hisab-falak). Penelitian dan perhitungan yang dilakukan para pakar hisab-falak menunjukkan bahwa data yang dihasilkan sudah selalu memberikan hasil yang sangat akurat tanpa menyisakan perbedaan yang berarti. Sehingga tak berlebihan banyak ulama kontemporer mendukung bahkan mewajibkan penggunaan data hisab-falak dalam menentukan awal bulan Qamariyah terkhusus Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.

Hisab pada dasarnya adalah bangunan keilmuan, maka sangat dipengaruhi oleh wacana epistema masing-masing. Maka wujudul hilal yang diusung Muhammadiyah dan imkanur rukyah oleh Pemerintah memiliki ciri sendiri-sendiri. Maka, batas equilibrium (baca: keseimbangan) hisab dan imkanur rukyah terletak pada sampai mana keduanya saling berkomunikasi, bukan malah mengambil jarak. Dengan demikian masing-masing tidak terjebak pada intellectual arrogance. Untuk itu sangat perlu dikembangkan hubungan asosiatif literal-inderawi dengan nalar rasional-ilmiah untuk membangun kalender Hijriyah ke depan. Wa’lLâhu a’lam.

Rahmadi Wibowo Suwarno
Kairo, 8 September 2007